Sejarah Perkembangan Etnografi
Sejarah perkembangan etnografi tidak lepas dari sejarah peradaban Eropa dan sejarah penjelajahan samudra atau perdagangan internasional. Tentunya kalian sudah mempelajari hal itu pada pembahasan sebelumnya mengenai sejarah perkembangan antropologi.
Pada dasarnya antropologi dan etnografi tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Awalnya, antropologi merupakan studi yang dilakukan kepada masyarakat dan kebudayaan di luar Eropa. Orang-orang Eropa menjelajah kawasan di luar peradabannya dan mendeskripsikannya dalam sebuah catatan.
Oleh karena itu, pada mulanya etnografi tidak dibuat dengan tujuan akademis, tetapi dibuat untuk kepentingan para penjelajah, pegawai kolonial, misionaris, maupun pedagang yang melakukan perjalanan ke luar Eropa.
Sejak awal perkembangannya, tradisi penulisan etnografi telah mengalami sejumlah perkembangan penting. Perkembangan ini di penga ruhi oleh dinamika sejarah dan pemikiran yang melingkupinya. Penulisan tentang masyarakat dan kebudayaan telah melalui sejarah panjang, mulai dari zaman Yunani dan Romawi kuno hingga abad ke -20.
a. Yunani dan Romawi Kuno
Pada perkembangan awal filsafat barat, juga terkait dengan etnografi. Ada beberapa nama yang menarik untuk diulas dalam hal ini.
Herodotus (484–425 SM), misalnya menulis tentang masyarakat Mesir. Ia memberikan banyak perhatian kepada kondisi iklim, mata pencaharian, kehidupan sehari-hari laki-laki dan perempuan, semangat keagamaan, praktik ritual, dan kebiasaan-kebiasaan unik yang berbeda dengan yang berlaku di Yunani (Vidich & Lyman, 1994).
Megathenes, seorang duta besar Yunani untuk India, juga melukiskan tentang sistem kasta. Publius Cornelius Tacitus (55– 117 SM), seorang sejarawan Romawi, menuliskan pula tentang masyarakat di Eropa Utara dalam buku Germania.
Berbeda dengan Herodotus dan Megathenes, Tacitus hanya mendapatkan keterangan dari para serdadu dan orang-orang yang bepergian ke wilayah utara (Barnow, 2013).
b. Abad Penemuan
Abad ke-15 dan abad ke-17 adalah masa ketika bangsa Eropa bertemu dengan masyarakat yang tinggal di Benua Amerika, Oseania, dan Asia. Mereka menemukan apa yang dikenal dengan istilah Dunia Baru.
Penemuan kebudayaan maju di Meksiko dan Peru, misalnya, mengubah pemahaman baru tentang superioritas Eropa atas bangsa lain. Dari sini lahirlah satu kesadaran tentang relativisme kebudayaan.
Di antara penulis penting pada masa itu adalah Michel de Montaigne, Garscilaso de la Vega, dan John Scheffer. De la Vega menulis buku berjudul Commentarios Reales Que Tratan del Origen de los Incas yang menggambarkan tentang kebudayaan Inka di Peru.
Demikian pula, Scheffer menulis History of Lappland. Periode ini juga ditandai oleh rasa ingin tahu yang lebih besar tentang keragaman budaya dan warna kulit. Pertanyaan yang muncul antara lain tentang asal-usul, sejarah, perkembangan beragam warna kulit, kebudayaan dan peradaban manusia (Vidich & Lyman, 1994).
c. Masa Pembaruan
Menjelang akhir abad ke-19, banyak keterangan yang lebih lengkap tentang masyarakat dan kebudayaan di dunia yang terkumpul dan dapat dibaca. Voltaire dan Montesquieu memanfaatkan tulisan-tulisan tersebut untuk menyusun pandangan-pandangan mereka tentang kejayaan dan keruntuhan peradaban.
Mereka memahami bahwa India, Cina, dan Amerika Tengah telah lama mencapai kemajuan yang tinggi, sehingga penulisan tentang peradaban dunia tidak boleh hanya berkutat tentang Eropa. Dalam L’esprit de Lois, Montesquieu menulis perbandingan peraturan di berbagai masyarakat.
Selain itu, Montesquieu mengemukakan bahwa masyarakat berevolusi dari liar (savage), menuju kepada barbar (barbarism), dan akhirnya sampai kepada peradaban (civilization). J.J. Rousseau, dalam Social Contract, menyatakan bahwa pada dasarnya manusia terlahir bebas, tetapi hidupnya dibelenggu oleh hal-hal yang melingkupinya. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa manusia pada dasarnya baik. Peradaban mem buat sifat baik itu sirna.
d. Abad ke-19
Munculnya gerakan konservatif yang menentang gagasan-gagasan Rousseau melahirkan pemikiran dan penulisan etnografi yang didominasi oleh aliran evolusi.
Secara garis besar, tema-tema kebudayaan yang ditulis kala itu terpusat pada keyakinan adanya tahapan-tahapan perkembangan kebudayaan dan masyarakat dari yang sederhana menuju masyarakat yang lebih kompleks.
Sebagian menyebutnya primitif menuju modern. Tulisan-tulisan yang berpengaruh kala itu adalah Primitive Culture oleh E.B. Tylor dan Ancient Society oleh Lewis Henry Morgan. Tylor adalah sosok yang pertama kali menyebut konsep culture (kebudayaan). Menurutnya, kebudayaan berkembang melalui tahap-tahap keliaran, kebiadaban, dan akhirnya menuju kepada peradaban.
Morgan awalnya menulis tentang kehidupan suku Indian Iroquois di Amerika. Setelah melakukan kajian perbandingan atas sejumlah masyarakat, sebagaimana tercantum dalam Ancient Society, ia menegaskan kembali rumusan yang dikemukakan Tylor tentang perubahan kebudayaan.
Morgan menambahkan tiga kategori pada dua tahap pertama, yaitu rendah, menengah, dan atas. Pandangan-pandangan Tylor dan Morgan dikritik oleh Franz Boas. Tidak percaya dengan argumen-argumen evolusionistik, Boas meyakini bahwa kebudayaan harus dipahami sesuai dengan konteks masyarakat yang melingkupinya.
Argumen ini kemudian menginspirasi dilakukannya berbagai penelitian lapangan oleh para antropolog. Etnografi pun menemukan corak baru (Moore, 1997, 42–52).
e. Etnografi Abad-20
Sebagai metode ilmiah, etnografi muncul dari studi perbandingan antropologi budaya yang dilakukan oleh para antropolog pada awal abad ke-20.
Beberapa antropolog seperti Franz Boas, Malinowski, RedcliffeBrown, dan Mead menggunakan metode pengumpulan data dari tangan pertama (first-hand experience) yaitu dengan melakukan pengamatan partisipasi langsung pada kebudayaan masyarakat yang dikaji.
Hal inilah yang membedakan para antropolog tersebut dengan para antropolog sebelumnya. Semenjak itu, penelitian lapangan etnografi telah menjadi pusat antropologi.
Sebagian antropolog kini tidak lagi menganggap bahwa etnografi merupakan ilmu yang mempelajari kebudayaan masyarakat liyan, yaitu pada masyarakat yang hidup terisolasi dengan teknologi sederhana.
Kini, etnografi telah menjadi alat penting dalam memahami masyarakat kita sendiri maupun masyarakat berkebudayaan lain di berbagai belahan dunia.
Dalam melakukan kerja lapangan, etno grafer biasanya tinggal bersama sekelompok masyarakat dalam waktu lama, seringkali satu tahun atau lebih, untuk mendokumentasikan dan menginterpretasikan cara hidup mereka yang khas, maupun kepercayaan dan nilai-nilai yang menyatu dengan kelompok yang dikaji.
Pada era selanjutnya berkembang etnografi baru sekitar tahun 1950 dan 1960an. Etnografi baru merupakan teknik yang dikembangkan dari paradigma antropologi kognitif ditambah dengan kekuatan sastra.
Paradigma kognitif dalam antropologi dipengaruhi oeh filsafat fenomenologi yang dikembangkan oleh Edmund Husserl. Salah satu ciri utamanya adalah upaya menghindari bias etnosentris peneliti dan lebih menonjolkan sudut pandang pelaku kebudayaan (Seymour-Smith, 1986).
Etnografi dituntut untuk melakukan pemaparan tentang realitas budaya dengan merujuk kepada pandangan, penghayatan, dan pemaknaan masyarakat setempat (Kaplan & Menners, 2012). Salah seorang antropolog yang secara intensif mendalami dan mempraktikkan etnografi baru adalah James Spradley.
Ia menyatakan bahwa tujuan utama penelitian lapangan adalah memahami cara hidup masyarakat lain dengan menggunakan sudut pandang pelaku kebudayaan. Tidak sekedar mempelajari, etnografi bahkan dapat disebut sebagai “belajar dari masyarakat” (Spradley, 1979b:3).
Dalam fase ini juga berkembang varian baru, otoetnografi, yaitu penelitian tentang kebudayaan sendiri (Seymour-Smith, 1986). Sebagai contoh, seorang antropolog berlatar belakang budaya Jawa meneliti tentang perubahan pola mata pencaharian masyarakat pedesaan di Malang, Jawa Timur. Menyebut contoh lain, seorang antropolog Minang meneliti tentang tradisi merantau pada masyarakat Minang.
Posting Komentar untuk "Sejarah Perkembangan Etnografi"