Pengertian Politik Hukum Secara Etimologis
Secara etimologis, istilah politik hukum merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari istilah hukum Belanda
rechtspolitiek, yang merupakan bentukan dari dua kata
rech dan politiek (Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 1999:
19).
Dalam bahasa Indonesia, kata recht berarti hukum. Kata
hukum sendiri berasal dari bahasa Arab hukm (kata jamaknya
ahkam), yang berarti putusan, ketetapan, perintah, kekuasaan,
hukuman, dan lain-lain.
Berkaitan dengan istilah ini, belum
ada kesatuan pendapat di kalangan para teoretisi hukum
tentang apa batasan dan arti hukum yang sebenarnya.
Perbedaan pendapat terjadi karena sifatnya yang abstrak dan
cakupannya yang luas serta perbedaan sudut pandang para
ahli dalam memandang dan memahami apa yang disebut
dengan hukum itu.
Namun, sebagai pedoman, secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa hukum adalah seperangkat
aturan tingkah laku yang berlaku dalam masyarakat.
Hukum diang
gap sebagai tujuan dari politik adalah agar ide-ide hukum atau rechtsidee seperti kebebasan, keadilan, kepastian, dan sebagainya ditempatkan dalam hukum positif dan pelaksanaan sebagian atau secara keseluruhan, dari ide hukum itu merupakan tujuan dari proses politik dan hukum sekaligus merupakan alat dari politik.
gap sebagai tujuan dari politik adalah agar ide-ide hukum atau rechtsidee seperti kebebasan, keadilan, kepastian, dan sebagainya ditempatkan dalam hukum positif dan pelaksanaan sebagian atau secara keseluruhan, dari ide hukum itu merupakan tujuan dari proses politik dan hukum sekaligus merupakan alat dari politik.
Politik mempergunakan
hukum positif (peraturan perundang-undangan) untuk mencapai tujuannya dalam arti merealisasikan ide-ide hukum
tersebut. Politik dapat mengarahkan dan membentuk masyarakat kepada tujuan untuk memecahkan masalah kemasyara katan di mana politik adalah aspek dinamis dan hukum merupakan aspek yang statis.
Politik dan hukum adalah dasar dari politik hukum
dengan ketentuan bahwa pelaksanaan pengembangan politik
hukum tidak bisa dipisahkan dengan pelaksanaan pengembangan politik secara keseluruhan.
Atau dapat dikatakan,
prinsip dasar yang dipergunakan sebagai ketentuan pengembangan politik akan juga berlaku bagi pelaksanaan politik
hukum yang diwujudkan melalui peraturan perundang-undangan.
Padmo Wahjono (1986: 160) mendefinisikan politik
hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk.
Definisi
ini masih bersifat abstrak dan kemudian dilengkapi dengan
sebuah artikelnya yang berjudul Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-undangan, yang dikatakan bahwa politik
hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa
yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu.
Dalam
hal ini kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hokum, dan penegakannya sendiri
(Padmo Wahjono, 1991: 65).
Pembentukan, penerapan, dan
penagakan hukum nampaknya diyakini Wahjono sebagai
sesuatu penting dan di antara sebab terkemuka adalah
problem legislasi itu sendiri.
Rumusan norma hukum yang
eksplisit dalam wujud perundang-undangan tidak jarang
malah terkesan kaku dan limitatif, meski dalam pengimplementasiannya masih terbuka peluang bagi hakim untuk
melakukan interpretasi, mengingat kodifikasi norma hukum
apa pun memang tercipta dengan kondisi yang selalu tidak
lengkap.
Oleh karena itu, dalam penerapannya untuk kasuskasus konkrit di pengadilan, norma atau kaidah hukum itu
tidak jarang memunculkan berbagai persoalan yang bermuara
pada sulitnya mewujudkan keadilan substansial (substansial
justice) bagi para pencarinya.
Sementara itu, menurut Soedarto (1983: 20), politik
hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan
negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-pera-turan yang dikehendaki, yang diperkirakan akan digunakan
untuk nengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Pada buku
lain yang berjudul Hukum dan Hukum Pidana dijelaskan,
politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturanperaturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada
suatu waktu (Soedarto, 1986: 151).
Pendapat Soedarto
menggiring kepada pemahaman pentingnya eksistensi kekuasaan negara untuk mewujudkan cita-cita kolektif masyarakat.
Kekuasaan secara umum diartikan sebagai suatu kemampuan
untuk mempengaruhi orang lain/kelompok lain sesuai dengan
pemegang kekuasaan itu sendiri dalam suatu pemerintahan
negara.
Walaupun kemudian proses hukum yang dimaksud
tersebut di atas tidak diidentikkan dengan maksud pembentukan hukum, namun dalam praktiknya seringkali proses dan
dinamika pembentukan hukum mengalami hal yang sama,
yakni konsepsi dan kekuasaan politiklah yang berlaku di
tengah masyarakat yang sangat menentukan terbentuknya
suatu produk hukum.
Maka untuk memahami hubungan antara
politik dan hukum di negara mana pun, perlu dipelajari latar
belakang kebudayaan, ekonomi, kekuatan politik di dalam
masyarakat, keadaan lembaga negara, dan struktur sosialnya,
selain institusi hukumnya sendiri.
Apabila peraturan perundang-undangan yang telah
dibuat tidak diiringi dengan perkembangan masyarakat, akibatnya nilai-nilai yang merupakan tujuan yang akan dicapai
dari masyarakat tidak terpenuhi dan berpengaruh pada
penegakan hukum itu sendiri.
Peraturan perundang-undangan yang dibuat untuk
berperan dalam tujuan negara, apabila dikaitkan dengan susunan masyarakat dan nilai-nilai dimulai dengan pilihan-pilihan
mengenai nilai-nilai apa yang harus diwujudkan oleh hukum,
pilihan nilai-nilai sangat ditentukan oleh politik hukum yang
berkuasa.
Dimensi nilai-nilai bukan saja dijumpai saat peraturan
perundang-undangan hendak diterapkan, melainkan timbul sejak peraturan perundang-undangan hendak dibuat.
Faktor
nilai yang menimbukan perbedaan dalam kehidupan hukum
lebih disebabkan oleh kultur hukum yang terdiri dari sikapsikap dan nilai-nilai keyakinan yang dimiliki dari masyarakat
secara langsung berhubungan lembaga-lembaga pembentuknya baik dipandang dari sudut positif atau sudut pandang
negatifnya.
Peranan nilai-nilai dan sikap-sikap merupakan gejala
yang universal sehingga mudah terjadi ketidakcocokan antara
nilai-nilai yang telah dipilih oleh politik hukum yang akan
diwujudkan dalam masyarakat.
Nilai-nilai yang sudah mapan
dan telah dihayati oleh anggota masyarakat harus dicermati
keberadaannya untuk dipersiapkan ke dalam suatu produk
hukum perundangan-undangan secara lebih baik.
Pembentukan peraturan perundang-undangan dilihat
dari peranan dan fungsinya merupakan suatu kebutuhan bagi
masyarakat dikarenakan hukum itu sendiri merupakan elemen-elemen penting bagi perkembangan politik dan kebijaksanaan ekonomi, sosial dan budaya dari pemerintah yang
mendasari dan mengartikan tindakan-tindakan dari hukum.
Ditinjau dari segi ilmu negara, John Locke (2003) menegaskan,
rakyat adalah pemegang kekuasaan-kedaulatan tertinggi
(kedaulatan berada di tangan rakyat), kemudian untuk menjalankan kekuasaan tersebut rakyat menunjuk seorang penguasa
atau dikenal sebagai pemerintah.
Seorang penguasa yang
ditunjuk tersebut berkewajiban untuk melindungi hak-hak
alamiah manusia, yang di dalamnya termasuk hak hidup, hak
atas kebebasan, dan hak milik.
Bersandar pada teori perjanjian
masyarakat itu pula, kemudian muncul konstitusi sebagai
sebuah kontrak sosial sebagaimana dikembangkan oleh
pemikir Perancis, Jean Jacques Rousseau (2005). Dikatakan
oleh Rousseau, kedaulatan tertinggi adalah berada pada
kehendak umum dari masyarakat atau yang disebut sebagai
volonte generale, yang kemudian menjelma melalui perundangundangan/konstitusi.
Oleh karena itu menurutnya, kedaulatan
memiliki sifat-sifat: (1) kesatuan (unite), bersifat monistis; (2)
bulat dan tak terbagi (indivisibilite); (3) tidak dapat dialihkan
(inalienabilite); dan (4) tidak dapat berubah (imprescriptibi-lite).
Dalam konteks ini, melalui politik hukum yang diemban,
kewajiban penguasa untuk melindungi hak-hak alamiah
manusia sebagai konsekuensi dari prinsip kedaulatan rakyat
juga ditegaskan oleh Immanuel Kant.
Dalam teorinya, Kant
menekankan bahwa tujuan negara adalah untuk menegakkan
hukum dan menjamin kebebasan warga negara. Kebebasan
warga negara dibatasi dengan hukum, sedangkan hukum itu
sendiri adalah cerminan dari kehendak rakyat.
Berdasarkan
bangunan teori yang dikemukakan oleh sejumlah pemikir di
atas bisa disimpulkan, jika kita membicarakan kewenangan
penguasa untuk menetapkan suatu aturan hukum yang di
dalamnya dimungkinkan adanya tindakan pembatasan terhadap hak asasi manusia, sesungguhnya tidaklah bisa dipisahkan
dari akar prinsip kedaulatan rakyat serta kewajiban negara
untuk melindungi hak-hak asasi warganya.
Dari kenyataan ini disadari, adanya suatu ruang yang
absah bagi masuknya suatu proses politik melalui wadah
institusi politik untuk terbentuknya suatu produk hukum.
Sehubungan dengan itu, ada dua kata kunci yang akan diteliti
lebih jauh tentang pengaruh kekuasaan dalam hukum yakni
mencakup kata “process” dan kata “institutions” dalam mewujudkan suatu peraturan perundang-undangan sebagai produk
politik.
Pengaruh itu akan semakin nampak pada produk
peraturan perundang-undang oleh suatu institusi politik yang
sangat dipengaruhi oleh kekuata-kekuatan politik yang besar
dalam institusi politik.
Pengaruh tersebut sangat mungkin mewarnai dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan.
Negara Kesatuan Republik Indonesia juga menyatakan diri menganut
prinsip kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan negara, hal
ini sebagaimana ditegaskan di dalam pasal 1 ayat (2) UUD
1945 yang menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
Dalam
rangka menjalankan prinsip kedaulatan rakyat serta upaya
mencapai tujuan negara sebagaimana ditegaskan UUD 1945,
maka dipilihlah seorang presiden melalui suatu proses
pemilihan umum, yang selanjutnya presiden memiliki peranan
sebagai pelaksana kekuasaan pemerintahan, seperti dinyata-kan di dalam pasal 4 ayat (1) UUD 1945, “Presiden Republik
Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar.”
Di luar kekuatan-kekuatan politik yang duduk dalam
institusi-instusi politik, terdapat kekuatan-kekuatan lainnya
yang memberikan kontribusi dan mempengaruhi produk hukum yang dilahirkan oleh institusi-institusi politik.
Kekuatan
tersebut berbagai kelompok kepentingan yang dijamin dan
diakui keberadaan dan perannya menurut ketentuan hukum
sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, seperti
kalangan pengusaha, tokoh ilmuan, kelompok organisasi
kemasyarakatan, organisasi profesi, tokoh agama, lembaga
swadaya masyarakat, dan lain-lain.
Hal ini menunjukan bahwa
pengaruh masyarakat dalam mempengaruhi pembentukan
hukum, mendapat tempat dan apresiasi yang begitu luas.
Dalam kasus ini, mengingatkan kita kepada apa yang diutarakan oleh pakar filsafat publik Walter Lippmann (1999: 21),
bahwa opini massa telah memperlihatkan diri sebagai seorang
master pembuat keputusan yang berbahaya ketika apa yang
dipertaruhkan adalah soal hidup mati.
Sunaryati Hartono, yang pernah menjadi kepala BPHN,
melihat politik hukum sebagai sebuah alat (tool) atau sarana
dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk
menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki dan
dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita- cita
Bangsa Indonesia (Sunaryati Hartono, 1991: 1).
Sebagai suatu
sistem, hukum tidak lagi dapat dipertahankan dengan
pemahaman sebagai kumpulan kaidah, akan tetapi merupakan
bagian dari keseluruhan unsur yang saling mempengaruhi satu
sama lain.
Sebagai contoh keterkaitan di antara unsur-unsur
tersebut, misalnya adalah pembaharuan dasar-dasar pemikiran di bidang ekonomi ikut menrubah dan menentukan dasardasar sistem hukum, maka pembentukan dan penegakan asasasas hukum yang sesuai juga akan mempelancar terbentuknya
struktur dan sistem ekonomi yang dikehendaki.
Tetapi sebaliknya, tanpa adanya asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang
tepat dan cukup lengkap, tercapainya struktur ekonomi yang
dicita-citakan justru akan terlambat. Selanjutnya, kata kunci “sistem hukum nasional” dalam
definisi di atas amat penting untuk ditekankan dalam memahami keadaan hukum di Indonesia.
Tidak berlebihan bila
disebutkan bahwa negara-negara baru mewarisi banyak hal
dari pendahulunya di masa kolonial karena berbagai perubahan tidak dapat menyapu bersih masa lalu.
Gambaran ini
sangat tepat ditujukan pada kondisi Republik Indonesia sejak
diproklamasikannya kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai
sekarang, disadari ataupun tidak telah mewarisi sisa-sisa tertib hukum kolonial yang terdiri atas struktur serta substansinya (Daniel S.Lev, 1990: 438).
Tradisi meneruskan segala
bentuk sisa-sisa tertib hukum masa lalu di Indonesia hingga
saat ini sulit dihindari karena lebih dari satu abad telah
berlangsung proses introduksi dan proses perkembangan
suatu sistem hukum asing ke/di dalam suatu tata kehidupan
dan tata hukum masyarakat pribumi.
Sistem hukum yang
dimaksud tidak lain adalah sistem hukum Eropa (khususnya Belanda) yang berakar pada tradisi-tradisi hukum Indo
Jerman dan Romawi Kristiani, dan yang dimutakhirkan lewat
berbagai revolusi sampai dengan revolusi kaum borjuis liberal
di Perancis pada akhir abad 19.
Posting Komentar untuk "Pengertian Politik Hukum Secara Etimologis"