Pengertian Antropologi dari para Ahli
a. Franz Boas (1858-1942)
Franz Boas adalah salah seorang peletak
dasar antropologi modern. Boas terkenal
dengan teorinya tentang relativisme budaya.
Bertentangan dengan pandangan dominan
pada zamannya, Boas meyakini bahwa semua
masyarakat pada dasarnya setara.
Bagi Boas
semua budaya pada dasarnya harus dipahami
dalam konteks budaya mereka sendiri. Boas
menolak anggapan bahwa ada pemilahan antara
masyarakat yang dianggap beradab dan biadab
atau primitif.
Sejalan dengan itu, Boas mengkritik keras keyakinan bahwa ras atau
etnis tertentu lebih unggul dibandingkan yang lain. Boas menolak rasisme
ilmiah yang digerakkan teori evolusionisme Darwin.
Aliran pemikiran
yang dominan pada era itu menyatakan bahwa ras adalah konsep biologis,
bukan budaya. Gagasan tersebut juga menyatakan perbedaan ras dapat
dikaitkan dengan biologi yang mendasarinya. Ide-ide itu ditentang oleh
Boas.
Membandingkan dua budaya sama saja dengan membandingkan dua
hal yang sama sekali berbeda. Mereka pada dasarnya berbeda dan harus
didekati sesuai konteks budaya masing-masing.
Dalam konteks antropologi sebagai disiplin ilmu pengetahuan, Boas
mengenalkan sebuah model penelitian antropologis yang digerakkan
semangat mendapatkan fakta di lapangan tanpa prasangka, mencatatnya,
dan melaporkannya seobjektif mungkin.
Bagi Boas, bekerja dengan
hipotesis yang telah disusun dan ditetapkan terlebih dahulu adalah
asing baginya. Dengan demikian, menurut Boas penelitian di lapangan
adalah pengaplikasian ilmu antropologi.
Penelitian juga tidak harus dari
rumusan permasalahan yang sudah ditentukan dari jauh hari tetapi juga
bisa dilakukan kapan saja atau tanpa persiapan (fleksibilitas).
Selain itu antropologi menurutnya juga harus memuat statistika atau data angka
yang dapat memperkuat argumentasi ketika menjelaskan hubungan di
masa lampau. Oleh karena itu, antropologi bisa juga dimasukkan dalam
ilmu alam atau ilmu sosial tergantung fokus penelitiannya.
Boas juga
menyepakati apa yang kemudian dikenal sebagai pendekatan empat
bidang. Antropologi, bagi Boas, adalah studi holistik tentang budaya
dan pengalaman, yang mengintegrasikan antropologi budaya, arkeologi,
antropologi linguistik, dan antropologi fisik.
Dikenal sebagai bapak antropologi Amerika, Boas berperan melatih
generasi pertama antropolog di Amerika. Beberapa antropolog
seperti Margaret Mead dan Ruth Benedict adalah mahasiswa penerus
Boas.
Selain itu, beberapa mahasiswa Boas kemudian mendirikan
beberapa departemen antropologi pertama di seluruh Amerika. Diakuinya
antropologi sebagai disiplin akademis di Amerika, sangat terkait erat
dengan warisan Boas melalui melalui mahasiswanya.
b. Bronislaw Malinowski (1884-1942)
Bronislaw Malinowski adalah salah se orang
bapak pendiri disiplin antropologi. Ia merumuskan penelitian dan penulisan etnografi, yang
menjadi dasar dari ilmu antropologi sekaligus
membedakannya dengan sosiologi.
Selain itu,
ia juga menjadi pencetus teori fungsio nalisme
dalam kebudayaan.
Malinowski lahir di Polandia dari ayah seorang guru besar dalam Ilmu Sastra Slavik.
Studi awalnya sebenarnya adalah ilmu pasti dan
alam, tetapi kegemarannya membaca tentang
folklor dan dongeng membuatnya mencintai
antropologi. Salah satu buku yang ia baca adalah
The Golden Bough karya F. G. Frazer, seorang
etnolog terkemuka. Buku ini memberikannya
suatu perhatian baru, yaitu etnologi.
Ketika ia studi lanjut di London Economic Schools, ia mengambil jurusan
“Ilmu sosiologi empiris. Saat itu belum ada jurusan antropologi. Pada tahun
1916 ia meraih gelar doktor dengan menulis disertasi tentang masyarakat
Aborigin dan Mailu berdasarkan sumber-sumber tertulis.
Tetapi ia ingin
mendapatkan informasi dan pengetahuan bukan dari bahan-bahan tertulis.
Ia ingin memperolehnya dengan langsung dari melihat, menyaksikan, dan
mewawancarai masyarakat tersebut.
Pada tahun 1914, ia berangkat ke
Kepulauan Trobriand, bagian utara kepulauan Masim, sebelah Tenggara
Papua Nugini. Ia berada di masyarakat Trobriand tersebut kurang lebih
selama dua tahun. Hasil riset lapangannya itu ia tulis dalam buku Argonauts
of The Western Pacific (1922).
Buku Argonauts of the Western Pacific ini kemudian menjadi model dari
apa yang disebut sebagai etnografi, metode penting dalam antropologi.
Menurut Malinowski, seseorang yang melakukan riset harus berdiam
lama di tempat masyarakat yang diteliti untuk melihat dan mengamati
kehidupan masyarakat sehari-hari dengan cermat. Tidak sekadar mengamati, si peneliti juga bisa terlibat dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat tersebut.
Untuk itu penting juga buat seorang peneliti
antropologi menguasai bahasa setempat. Hasil dari catatan pengamatan,
keterlibatan, serta wawancara-wawancara dengan masyarakat ini
kemudian dituliskan secara mendalam. Itulah yang disebut etnografi.
Apa
yang dilakukan Malinowski ini kemudian menjadi model baku penelitian
dan penulisan etnografi hingga sekarang ini.
Dari penelitian lapangannya ini pula Malinowski mengembangkan teori
fungsionalisme.
Menurutnya, masyarakat terintegrasi karena hubungan
fungsional antar unit-unit sosialnya satu sama lain, meski acap kali
hubungan fungsional tersebut tidak tampak terlihat. Analisis fungsional
mendudukkan unsur sosial dan kultural manusia dalam konteks yang
luas, serta menekankan pada hubungan saling memengaruhi.
Dengan
demikian, tugas utama antropologi adalah merumuskan kontribusi pada
kehidupan sosial dan kultural manusia, serta menelaah fenomena sosial
untuk memahami hakikat keberadaannya.
c. Ruth Benedict (1887-1948)
Menurut Franz Boas, ilmu antropologi
memerlukan ahli-ahli antropologi perempuan
untuk meneliti aspek perempuan dalam suatu
kebudayaan. Tanpa itu, ilmu antropologi hanya
akan mengetahui sektor laki-laki saja.
Untuk
keperluan itu, Franz Boas juga banyak mendidik
para antropolog perempuan. Salah seorang di
antaranya adalah Ruth Benedict. Ia terkenal
karena mengembangkan apa yang disebut sebagai
etos kebudayaan dan kepribadian nasional.
Selepas dari belajar di Universitas Vassar,
Benedict menjadi pengajar di sekolah-sekolah
perempuan. Terdorong oleh niat untuk memahami konflik-konflik antarnegara, ia kemudian belajar antro pologi dan melanjutkan
studi di Universitas Columbia, di bawah asuhan
Franz Boas.
Di Columbia, Benedict melakukan
penelitian lapangan di kalangan beberapa suku,
seperti di kalangan suku Indian Serrano (1922),
Zuni Pueblo (1924), Apache (1931), dan Blackfoot
India (1939).
Namun, karyanya yang terkenal adalah Patterns
of Culture (1934) di mana ia mengembangkan
mengenai etos kebudayaan.
Ia meneliti dan
membandingkan kebudayaan yang saling
berjauhan, yakni Indian Pueblo Zuni di negara
bagian Colorado di Amerika Serikat Barat Daya,
kebudayaan Dobu di Kepulauan d’Entre-Casteaux
di sebelah Barat Papua Nugini dan kebudayaan
Indian di Kwakiutl di kepulauan dekat Pantai
Kanada.
Dari penelitiannya itu, ia merumuskan tiga pola kebudayaan, yaitu pertama, “apollonian”, yaitu kepribadian yang
selalu mencari etos keselarasan. Yang kedua, yaitu “schizophrenian” yaitu
kebudayaan yang selalu bersifat curiga, takut kepada sesamanya, tidak
suka menolong, dan saling bergotong royong.
Yang ketiga, “dionysian”
yaitu kebudayaan dengan kepribadian yang dinamis, agresif, suka bersaing,
suka berkelahi, congkak, gemar membual, dan sering mabuk-mabukan,
baik kehidupan sehari-hari maupun dalam upacara.
Menurut Benedict, seorang ahli antropologi bisa mendeskripsikan
etos dari suatu kebudayaan dengan menganalisis sifat-sifat dari berbagai
unsur dalam suatu kebudayaan.
Unsur-unsur itu bisa bersifat fisik, seperti
bentuk, gaya seni rupa, warna-warna yang disukai oleh masyarakat, unsurunsur rohaniahnya seperti tema-tema yang ada dalam cerita-cerita atau
kesusasteraan, upacara yang digemari oleh warga, dan sebagainya.
Pemikiran Ruth ini kemudian menjadi model bagi banyak negara yang
melibatkan para antropolog untuk merumuskan dan menggambarkan
kepribadian nasional mereka dalam rangka character building. Pemikiran
ini juga menjadi landasan untuk memahami kebudayaan orang lain.
Ruth sendiri kemudian melakukan penelitian lagi tentang kebudayaan
masyarakat Jepang, The Chrysanthemum and the Sword (1946), atas permintaan militer.
d. Koentjaraningrat
Bapak antropologi Indonesia, Koentjaraningrat,
menyatakan bahwa mata pelajaran antropologi
memusatkan perhatian pada lima masalah
mengenai makhluk manusia, yaitu:
Pertama, masalah sejarah terjadinya manusia
sebagai makhluk biologis yang bermakna
manusia merupakan makhluk yang memiliki raga.
Dengan demikian manusia melakukan aktivitas
fisik, bertahan hidup, tumbuh, dan berkembang,
serta berkembang biak untuk memperbanyak
keturunan. Kedua, masalah sejarah terjadinya aneka warna makhluk manusia,
dipandang dari sudut ciri-ciri fisik tubuhnya.
Dalam hal ini, ciri fisik
manusia tersebut dipahami sebagai kodrat yang tidak bisa diubah dan
harus diterima sebagai kewajaran dalam menyikapi perbedaan yang ada.
Ketiga, masalah persebaran dan terjadinya ragam bahasa yang diucapkan
oleh manusia di seluruh dunia.
Manusia melakukan aktivitas komunikasi
berbeda-beda di berbagai daerah yang membentuk tatanan pada masingmasing bahasa daerah. Bahasa merupakan inti dalam pembentukan
kebudayaan.
Keempat, masalah perkembangan, persebaran dan terjadinya aneka
ragam kebudayaan manusia di seluruh dunia.
Hal ini dapat terjadi
karena adanya pertukaran budaya. Pada zaman dahulu, pertukaran dan
persebaran budaya bekerja melalui aktivitas perdagangan antarbangsa.
Melalui aktivitas tersebut, kemudian terjadi pertukaran budaya dalam
bentuk asimilasi maupun akulturasi.
Kelima, masalah dasar-dasar serta aneka warna kebudayaan manusia
dalam kehidupan masyarakat dan suku-suku bangsa yang tersebar di
seluruh bumi pada masa kini.
Suku terbentuk dari etnis yang mendiami
suatu daerah dalam rentang waktu cukup panjang dalam bertahan hidup
serta menyesuaikan dengan perkembangan zamannya. Meski demikian,
ada pula suku yang mempertahankan cara hidup mereka sehingga
tergolong tradisional.
Posting Komentar untuk "Pengertian Antropologi dari para Ahli"