Perkembangan Teknologi Manusia Purba
Perlu kamu ketahui bahwa sekalipun belum mengenal
tulisan manusia purba sudah mengembangkan kebudayaan dan
teknologi. Teknologi waktu itu bermula dari teknologi bebatuan
yang digunakan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan.
Dalam
praktiknya peralatan atau teknologi bebatuan tersebut dapat
berfungsi serba guna. Pada tahap paling awal alat yang digunakan
masih bersifat kebetulan dan seadanya serta bersifat trial and eror.
Mula-mula mereka hanya menggunakan benda-benda dari alam
terutama batu.
Teknologi bebatuan pada zaman ini berkembang
dalam kurun waktu yang begitu panjang. Oleh karena itu, para
ahli kemudian membagi kebudayaan zaman batu di era praaksara
ini menjadi beberapa zaman atau tahap perkembangan.
Dalam
buku R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia I,
dijelaskan bahwa kebudayaan zaman batu ini dibagi menjadi tiga
yaitu, Paleolitikum, Mesolitikum dan Neolitikum.
1. Antara Batu dan Tulang
Peralatan pertama yang digunakan oleh manusia purba adalah
alat-alat dari batu yang seadanya dan juga dari tulang. Peralatan ini
berkembang pada zaman paleolitikum atau zaman batu tua.
Zaman
batu tua ini bertepatan dengan zaman neozoikum terutama pada
akhir zaman Tersier dan awal zaman Kuarter. Zaman ini berlangsung
sekitar 600.000 tahun yang lalu.
Zaman ini merupakan zaman
yang sangat penting karena terkait dengan munculnya kehidupan
baru, yakni munculnya jenis manusia purba. Zaman ini dikatakan
zaman batu tua karena hasil kebudayaan terbuat dari batu yang
relatif masih sederhana dan kasar.
Kebudayaan zaman Paleolitikum
ini secara umum ini terbagi menjadi Kebudayaan Pacitan dan
Kebudayaan Ngandong.
a. Kebudayaan Pacitan
Kebudayaan ini berkembang di daerah Pacitan, Jawa
Timur. Beberapa alat dari batu ditemukan di daerah ini.
Seorang ahli, von Koenigswald dalam penelitiannya pada
tahun 1935 telah menemukan beberapa hasil teknologi
bebatuan atau alat-alat dari batu di daerah Punung.
Alat
batu itu masih kasar, dan bentuk ujungnya agak runcing,
tergantung kegunaannya. Alat batu ini sering disebut dengan
kapak genggam atau kapak perimbas. Kapak ini digunakan
untuk menusuk binatang atau menggali tanah saat mencari
umbi-umbian.
Di samping kapak perimbas, di Pacitan juga
ditemukan alat batu yang disebut dengan chopper sebagai
alat penetak. Di Pacitan juga ditemukan alat-alat serpih.
b. Kebudayaan Ngandong
Kebudayaan Ngandong berkembang di daerah
Ngandong dan juga Sidorejo, dekat Ngawi. Di daerah ini
banyak ditemukan alat-alat dari batu dan juga alat-alat dari
tulang. Alat-alat dari tulang ini berasal dari tulang binatang
dan tanduk rusa yang diperkirakan digunakan sebagai
penusuk atau belati.
Selain itu, ditemukan juga alat-alat
seperti tombak yang bergerigi. Di Sangiran juga ditemukan alat-alat dari batu, bentuknya indah seperti kalsedon. Alatalat ini sering disebut dengan flakke.
Sebaran artefak dan peralatan paleolitik cukup luas
sejak dari daerah-daerah di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi,
Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT),
dan Halmahera.
2. Antara Pantai dan Gua
Zaman batu terus berkembang memasuki zaman batu
madya atau batu tengah yang dikenal zaman mesolitikum. Hasil
kebudayaan batu madya ini sudah lebih maju apabila dibandingkan
hasil kebudayaan zaman paleolitikum.
Sekalipun demikian bentuk
dan hasil-hasil kebudayaan zaman paleolitikum (batu tua) tidak
serta merta punah tetapi mengalami penyempurnaan. Bentuk flake dan alat-alat dari tulang terus mengalami
perkembangan.
Secara garis besar kebudayaan
mesolitikum ini terbagi menjadi dua kelompok
besar yang ditandai lingkungan tempat tinggal,
yakni di pantai dan di gua.
a. Kebudayaan Kjokkenmoddinger
Kjokkenmoddinger istilah dari bahasa
Denmark, kjokken berarti dapur dan modding
dapat diartikan sampah (kjokkenmoddinger
= sampah dapur).
Dalam kaitannya dengan
budaya manusia, kjokkenmoddinger
merupakan tumpukan timbunan kulit siput
dan kerang yang menggunung di sepanjang
pantai Sumatra Timur antara Langsa di Aceh
sampai Medan.
Dengan kjokkenmoddinger
ini dapat memberi informasi bahwa manusia
purba zaman mesolitikum umumnya bertempat tinggal di tepi pantai. Pada tahun 1925
Von Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit
kerang itu dan menemukan jenis kapak genggam
(chopper) yang berbeda dari chopper yang ada
di zaman paleolitikum.
Kapak genggam yang
ditemukan di bukit kerang di pantai Sumatra Timur
ini diberi nama pebble atau lebih dikenal dengan
Kapak Sumatra. Kapak jenis pebble ini terbuat
dari batu kali yang pecah, sisi luarnya dibiarkan
begitu saja dan sisi bagian dalam dikerjakan sesuai
dengan keperluannya.
Di samping kapak jenis
pebble juga ditemukan jenis kapak pendek dan
jenis batu pipihan (batu-batu alat penggiling). Di
Jawa batu pipisan ini umumnya untuk menumbuk
dan menghaluskan jamu.
b. Kebudayaan Abris Sous Roche
Kebudayaan abris sous roche merupakan hasil
kebudayaan yang ditemukan di gua-gua. Hal ini
mengindikasikan bahwa manusia purba pendukung
kebudayaan ini tinggal di gua-gua. Kebudayaan ini pertama
kali dilakukan penelitian oleh Von Stein Callenfels di Gua Lawa
dekat Sampung, Ponorogo.
Penelitian dilakukan
tahun 1928 sampai 1931. Beberapa hasil teknologi
bebatuan yang ditemukan misalnya ujung panah,
flakke, batu penggilingan. Juga ditemukan alatalat dari tulang dan tanduk rusa. Kebudayaan
abris sous roche ini banyak ditemukan misalnya
di Besuki, Bojonegoro, juga di daerah Sulawesi
Selatan seperti di Lamoncong.
3. Sebuah Revolusi
Perkembangan zaman batu yang dapat
dikatakan paling penting dalam kehidupan
manusia adalah zaman batu baru atau neolitikum.
Pada zaman neolitikum yang juga dapat dikatakan
sebagai zaman batu muda.
Pada zaman ini telah
terjadi “revolusi kebudayaan”, yaitu terjadinya
perubahan pola hidup manusia. Pola hidup food
gathering digantikan dengan pola food producing.
Hal ini seiring dengan terjadinya perubahan jenis
pendukung kebudayaannya.
Pada zaman ini telah
hidup jenis Homo sapiens sebagai pendukung
kebudayaan zaman batu baru. Mereka mulai
mengenal bercocok tanam dan beternak sebagai
proses untuk menghasilkan atau memproduksi
bahan makanan.
Hidup bermasyarakat dengan
bergotong royong mulai dikembangkan. Hasil
kebudayaan yang terkenal di zaman neolitikum
ini secara garis besar dibagi menjadi dua tahap
perkembangan.
a. Kebudayaan kapak persegi
Nama kapak persegi berasal dari
penyebutan oleh von Heine Geldern.
Penamaan ini dikaitkan dengan bentuk
alat tersebut. Kapak persegi ini berbentuk
persegi panjang dan ada juga yang
berbentuk trapesium.
Ukuran alat ini juga
bermacam-macam. Kapak persegi yang
besar sering disebut dengan beliung atau
pacul (cangkul), bahkan sudah ada yang
diberi tangkai sehingga persis seperti
cangkul zaman sekarang. Sementara yang
berukuran kecil dinamakan tarah atau tatah.
Penyebaran alat-alat ini terutama di Kepulauan
Indonesia bagian barat, seperti Sumatra, Jawa
dan Bali. Diperkirakan sentra-sentra teknologi
kapak persegi ini ada di Lahat (Palembang),
Bogor, Sukabumi, Tasikmalaya (Jawa Barat),
kemudian Pacitan-Madiun, dan di Lereng
Gunung Ijen (Jawa Timur).
Yang menarik, di
Desa Pasirkuda dekat Bogor juga ditemukan
batu asahan. Kapak persegi ini cocok sebagai
alat pertanian.
b. Kebudayaan kapak lonjong
Nama kapak lonjong ini disesuaikan
dengan bentuk penampang alat ini yang
berbentuk lonjong. Bentuk keseluruhan alat
ini lonjong seperti bulat telur. Pada ujung
yang lancip ditempatkan tangkai dan pada
bagian ujung yang lain diasah sehingga tajam.
Kapak yang ukuran besar sering disebut
walzenbeil dan yang kecil dinamakan kleinbeil.
Penyebaran jenis kapak lonjong ini terutama di
Kepulauan Indonesia bagian timur, misalnya di
daerah Papua, Seram, dan Minahasa.
Pada zaman neolitikum, di samping
berkembangnya jenis kapak batu juga
ditemukan barang-barang perhiasan, seperti
gelang dari batu, juga alat-alat gerabah atau
tembikar.
Perlu kamu ketahui bahwa manusia
purba waktu itu sudah memiliki pengetahuan
tentang kualitas bebatuan untuk peralatan.
Penemuan dari berbagai situs menunjukkan
bahan yang paling sering dipergunakan adalah
jenis batuan kersikan (silicified stones), seperti
gamping kersikan, tufa kersikan, kalsedon, dan jasper.
Jenis-jenis batuan ini di samping keras, sifatnya
yang retas dengan pecahan yang cenderung tajam dan
tipis, sehingga memudahkan pengerjaan. Di beberapa situs
yang mengandung fosil-fosil kayu, seperti di Kali Baksoka
(Jawa Timur) dan Kali Ogan (Sumatra Selatan) tampak ada
upaya pemanfaatan fosil untuk bahan peralatan.
Pada
saat lingkungan tidak menyediakan bahan yang baik, ada
kecenderungan untuk memanfaatkan batuan yang tersedia
di sekitar hunian, walaupun kualitasnya kurang baik. Contoh
semacam ini dapat diamati pada situs Kedunggamping di
sebelah timur Pacitan, Cibaganjing di Cilacap, dan Kali Kering
di Sumba yang pada umumnya menggunakan bahan andesit
untuk peralatan.
c. Perkembangan zaman logam
Mengakhiri zaman batu di masa neolitikum mulailah
zaman logam. Sebagai bentuk masa perundagian. Zaman
logam di Kepulauan Indonesia ini agak berbeda bila
dibandingkan dengan yang ada di Eropa. Di Eropa zaman
logam ini mengalami tiga fase, zaman tembaga, perunggu
dan besi.
Di Kepulauan Indonesia hanya mengalami zaman
perunggu dan besi. Zaman
perunggu merupakan
fase yang sangat penting
dalam sejarah. Beberapa
contoh benda-benda
kebudayaan perunggu itu
antara lain: kapak corong,
nekara, moko, berbagai
barang perhiasan.
Beberapa benda hasil
kebudayaan zaman logam
ini juga terkait dengan
praktik keagamaan
misalnya nekara.
Posting Komentar untuk "Perkembangan Teknologi Manusia Purba"