Pergerakan Nasional pada Masa Pendudukan Jepang
Amatilah gambar kerja paksa pada masa penjajahan Jepang di Indonesia di
atas! Kerja paksa pada masa kependudukan Jepang dikenal dengan istilah romusha.
Romusha merupakan salah satu bukti penderitaan rakyat Indonesia pada masa
pendudukan Jepang.
Kapan Jepang mulai menguasai Indonesia? Bagaimana Jepang
menguasai Indonesia? Bagaimana kondisi bangsa Indonesia pada masa penjajahan
Jepang?
Perhatikan gambar peta di atas! Peta tersebut menggambarkan gerakan
tentara Jepang ketika masuk ke Indonesia. Terdapat tiga tempat penting
pendaratan Jepang ketika masuk ke Indonesia, yakni Tarakan (Kalimantan),
Palembang (Sumatra), dan Jakarta (Jawa).
a. Proses Penguasaan Indonesia
Awal mula tujuan Jepang menguasai Indonesia ialah untuk kepentingan ekonomi dan politik. Jepang merupakan negara industri yang sangat maju dan sangat besar. Jepang sangat menginginkan bahan baku industri yang tersedia banyak di Indonesia untuk kepentingan ekonominya.
Indonesia juga merupakan daerah pemasaran industri yang strategis bagi Jepang untuk menghadapi persaingan dengan tentara bangsabangsa Barat.
Untuk menyamakan jalur pelayaran bagi bahan-bahan mentah dan bahan baku dari ancaman Sekutu serta memuluskan ambisinya menguasai wilayahwilayah baru, Jepang menggalang kekuatan pasukannya serta mencari dukungan dari bangsa-bangsa Asia.
Berdasarkan tiga lokasi tersebut,
lokasi manakah yang paling dekat dengan tempat tinggal kalian? Dapatkah
kalian temukan alasan mengapa Jepang memilih menduduki tempat tersebut?
Tempat-tempat tersebut merupakan tempat yang strategis untuk menguasai
Indonesia.
Selain itu, tiga lokasi tersebut merupakan pusat perkembangan
politik dan ekonomi pada masa kependudukan Belanda. Pada tanggal 8 Desember 1941, Jepang melakukan penyerangan terhadap
pangkalan militer AS di Pearl Harbour.
Setelah memborbardir Pearl Harbour, Jepang
masuk ke negara-negara Asia dari berbagai pintu. Pada tanggal 11 Januari 1942,
Jepang mendaratkan pasukannya di Tarakan, Kalimantan Timur. Jepang menduduki
kota minyak Balikpapan pada tanggal 24 Januari.
Selanjutnya, Jepang menduduki
kota-kota lainya di Kalimantan.
Jepang berhasil menguasai Palembang pada tanggal 16 Februari 1942. Setelah
menguasai Palembang, Jepang menyerang Pulau Jawa. Pulau Jawa merupakan pusat
pemerintahan Belanda.
Batavia (Jakarta) sebagai pusat perkembangan Pulau Jawa
berhasil dikuasai Jepang pada tanggal 1 Maret 1942. Setelah melakukan berbagai
pertempuran, Belanda akhirnya menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada tanggal 8
Maret 1942 di Kalijati, Subang-Jawa Barat.
Surat perjanjian serah terima kedua belah
pihak ditandatangani oleh Letnan Jenderal Ter Poorten (Panglima Angkatan Perang
Belanda) dan diserahkan kepada Letnan Jenderal Imamura (pimpinan pasukan
Jepang). Sejak saat itu seluruh Indonesia berada di bawah kekuasan Jepang.
b. Kebijakan Pemerintah Militer Jepang
Pada saat kependudukannya di Indonesia, Jepang melakukan pembagian tiga
daerah pemerintahan militer di Indonesia, yakni:
- Pemerintahan Angkatan Darat (Tentara XXV) untuk Sumatra, dengan pusat di Bukittinggi.
- Pemerintahan Angkatan Darat (Tentara XVI) untuk Jawa dan Madura dengan pusat di Jakarta.
- Pemerintahan Angkatan Laut (Armada Selatan II) untuk daerah Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku dengan pusat di Makassar.
Dengan demikian, pemerintahan
militer Jepang di Indonesia lebih leluasa untuk menerapkan sistem penjajahan.
Jepang melakukan propaganda dengan semboyan “Tiga A” (Jepang Pemimpin
Asia, Jepang Pelindung Asia, Jepang Cahaya Asia) untuk menarik simpati rakyat
Indonesia.
Selain itu, Jepang menjanjikan kemudahan bagi bangsa Indonesia dalam
melakukan ibadah, mengibarkan bendera merah putih yang berdampingan dengan
bendera Jepang, menggunakan bahasa Indonesia, dan menyanyikan lagu kebangsaan
“Indonesia Raya” bersama lagu kebangsaan Jepang “Kimigayo”.
Kemudahan-kemudahan yang
ditawarkan oleh Jepang hanyalah
janji manis saja. Sebagai
penjajah, Jepang justru lebih
kejam dalam menjajah bangsa
Indonesia. Jepang melakukan
beberapa kebijakan terhadap
negara jajahan Indonesia.
Program yang paling mendesak
bagi Jepang adalah mengerahkan
seluruh sumber daya yang ada di
Indonesia untuk tujuan perang.
Beberapa kebijakan tersebut
antara lain sebagai berikut.
1) Membentuk Organisasi- Organisasi Sosial
Organisasi - organisasi
sosial yang dibentuk oleh
Jepang di antaranya Gerakan
3A, Pusat Tenaga Rakyat,
Jawa Hokokai, dan Masyumi.
Gerakan 3A Dipimpin oleh
Mr. Syamsudin, dengan tujuan
meraih simpati penduduk dan
tokoh masyarakat sekitar.
Dalam
perkembangannya, gerakan ini
kurang berhasil sehingga Jepang
membentuk organisasi yang
lebih menarik. Sebagai ganti Gerakan Tiga A, Jepang mendirikan gerakan Pusat Tenaga Rakyat
(Putera) pada tanggal 1 Maret 1943.
Gerakan Putera dipimpin tokoh-tokoh nasional
yang sering disebut Empat Serangkai, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, K.H. Mas
Mansyur, dan Ki Hajar Dewantara. Gerakan Putera cukup diminati oleh kalangan
tokoh pergerakan Indonesia.
Pemerintah Jepang kurang puas dengan kegiatan yang dilakukan oleh gerakan
Putera karena para tokoh gerakan Putera memanfaatkan organisasi ini untuk
melakukan konsolidasi dengan tokoh-tokoh perjuangan. Pada akhirnya, organisasi
Putera dibubarkan oleh Jepang.
Pada tahun 1944, dibentuk Jawa Hokokai (Gerakan Kebaktian Jawa). Gerakan
ini berdiri di bawah pengawasan para pejabat Jepang. Tujuan pokoknya adalah
menggalang dukungan untuk rela berkorban demi pemerintah Jepang.
Islam adalah agama yang dianut mayoritas penduduk Indonesia.
Jepang merasa
harus bisa menarik hati golongan ini. Maka, pada tahun 1943 Jepang membubarkan
Majelis Islam A’la Indonesia dan menggantikannya dengan Masyumi (Majelis Syuro
Muslimin Indonesia). Masyumi dipimpin oleh K.H. Hasyim Ashari dan K.H. Mas
Mansyur.
2) Pembentukan Organisasi Semi Militer
Jepang menyadari pentingnya mengerahkan rakyat Indonesia untuk membantu
perang menghadapi Sekutu. Oleh karena itu, Jepang membentuk berbagai
organisasi semimiliter, seperti Seinendan, Fujinkai, Keibodan, Heiho, dan
Pembela Tanah Air (Peta).
Organisasi Barisan Pemuda (Seinendan) dibentuk pada 9 Maret 1943. Tujuannya
adalah memberi bekal bela negara agar siap mempertahankan tanah airnya. Dalam
kenyataannya, tujuan itu hanya untuk menarik minat rakyat Indonesia.
Maksud
sesungguhnya adalah untuk membantu menghadapi tentara Sekutu. Fujinkai merupakan himpunan kaum wanita di atas 15 tahun untuk terikat
dalam latihan semimiliter. Keibodan merupakan barisan pembantu polisi untuk
laki-laki berumur 20-25 tahun.
Heiho yang didirikan tahun 1943 merupakan
organisasi prajurit pembantu tentara Jepang. Pada saat itu, Jepang sudah
mengalami kekalahan di beberapa front pertempuran.
Adapun Peta yang didirikan
3 Oktober 1943 merupakan pasukan bersenjata yang memperoleh pendidikan
militer secara khusus dari Jepang. Kelak, para eks-Peta memiliki peranan besar
dalam pertempuran melawan Jepang dan Belanda.
3) Pengerahan Romusha
Jepang melakukan rekruitmen anggota romusha dengan tujuan mencari bantuan
tenaga yang lebih besar untuk membantu perang dan melancarkan aktivitas Jepang.
Anggota-anggota romusha dikerahkan oleh Jepang untuk membangun jalan, kubu
pertahanan, rel kereta api, jembatan, dan sebagainya.
Jumlah Romusha paling
besar berasal dari Jawa, yang dikirim ke luar Jawa, bahkan sampai ke Malaya,
Myanmar, dan Thailand.
Pada saat mereka bekerja sebagai romusha, makanan yang mereka
dapat tidak terjamin, kesehatan sangat minim, sementara pekerjaan sangat berat.
Ribuan rakyat Indonesia meninggal akibat romusha.
Mendengar nasib romusha yang sangat menyedihkan, banyak pemuda
Indonesia meninggalkan kampungnya. Mereka takut akan dijadikan romusha.
Akhirnya, sebagian besar desa hanya didiami oleh kaum perempuan, orang tua,
dan anak-anak.
Penjajahan Jepang yang sangat menyengsarakan adalah pemaksaan wanitawanita untuk menjadi Jugun Ianfu. Jugun Ianfu adalah wanita yang dipaksa Jepang
untuk menjadi wanita penghibur Jepang di berbagai pos medan pertempuran.
Banyak gadis-gadis desa diambil paksa tentara Jepang untuk menjadi Jugun
Ianfu. Sebagian mereka tidak kembali walaupun Perang Dunia II telah berakhir.
4) Eksploitasi Kekayaan Alam
Jepang tidak hanya menguras tenaga rakyat Indonesia. Pengerukan kekayaan
alam dan harta benda yang dimiliki bangsa Indonesia jauh lebih kejam daripada
pengerukan yang dilakukan oleh Belanda. Semua usaha yang dilakukan di
Indonesia harus menunjang semua keperluan perang Jepang.
Jepang mengambil alih seluruh aset ekonomi Belanda dan mengawasi secara
langsung seluruh usahanya. Usaha perkebunan dan industri harus mendukung
untuk keperluan perang, seperti tanaman jarak untuk minyak pelumas.
Rakyat
wajib menyerahkan bahan pangan besar-besaran kepada Jepang. Jepang
memanfaatkan Jawa Hokokai dan intansi-instansi pemerintah lainnya. Keadaan
inilah yang semakin menyengsarakan
rakyat Indonesia.
Pada masa panen, rakyat wajib
melakukan setor padi sedemikian rupa
sehingga mereka hanya membawa
pulang padi sekitar 20% dari panen yang
dilakukannya. Kondisi ini mengakibatkan
musibah kelaparan dan penyakit busung
lapar di Indonesia.
Banyak penduduk
yang memakan umbi-umbian liar, yang
sebenarnya hanya pantas untuk makanan
ternak.
Sikap manis Jepang hanya sebentar.
Pada tanggal 20 Maret 1942, dikeluarkan
maklumat pemerintah yang isinya berupa
larangan pembicaraan tentang pengibaran
bendera merah putih dan menyanyikan
lagu Indonesia Raya. Hal ini tentu
membuat kecewa bangsa Indonesia.
c. Sikap Kaum Pergerakan
Bangsa Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk menanggapi kebijakan
Jepang tersebut. Propaganda Jepang sama sekali tidak memengaruhi para tokoh
perjuangan untuk percaya begitu saja. Bagaimanapun, mereka sadar bahwa Jepang
adalah penjajah.
Bahkan, mereka sengaja memanfaatkan organisasi-organisasi
pendirian Jepang sebagai ‘batu loncatan’ untuk meraih Indonesia merdeka. Beberapa
bentuk perjuangan pada zaman Jepang adalah sebagai berikut.
1) Memanfaatkan Organisasi Bentukan Jepang
Kelompok ini sering disebut kolaborator karena mau bekerja sama dengan
penjajah. Sebenarnya, cara ini bentuk perjuangan diplomasi. Tokoh-tokohnya
adalah para pemimpin Putera, seperti Sukarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar
Dewantara, dan K.H. Mas Mansyur.
Mereka memanfaatkan Putera sebagai
sarana komunikasi dengan rakyat. Akhirnya, Putera justru dijadikan para pemuda
Indonesia sebagai ajang kampanye nasionalisme.
Pemerintah Jepang menyadari
hal tersebut dan akhirnya membubarkan Putera dan digantikan Barisan Pelopor.
Sama seperti Putera, Barisan Pelopor yang dipimpin Sukarno ini pun selalu
mengampanyekan perjuangan kemerdekaan.
2) Gerakan Bawah Tanah
Larangan berdirinya partai politik pada zaman Jepang mengakibatkan
sebagian tokoh perjuangan melakukan gerakan bawah tanah. Gerakan bawah
tanah merupakan perjuangan melalui kegiatan-kegiatan tidak resmi, tanpa
sepengetahuan Jepang (gerakan sembunyi-sembunyi).
Dalam melakukan perjuangan, mereka terus melakukan konsolidasi menuju
kemerdekaan Indonesia. Mereka menggunakan tempat-tempat strategis, seperti
asrama pemuda untuk melakukan pertemuan-pertemuan.
Penggalangan semangat
kemerdekaan dan membentuk suatu negara terus mereka kobarkan.
Tokoh-tokoh yang masuk dalam garis pergerakan bawah tanah adalah Sutan
Sjahrir, Achmad Subarjo, Sukarni, A. Maramis, Wikana, Chairul Saleh, dan
Amir Syarifuddin.
Mereka terus memantau Perang Pasifik melalui radio-radio
bawah tanah. Pada saat itu, Jepang melarang bangsa Indonesia memiliki pesawat
komunikasi. Kelompok bawah tanah inilah yang sering disebut golongan radikal/
keras karena mereka tidak mengenal kompromi dengan Jepang.
3) Perlawanan Bersenjata
Di samping perjuangan yang dilakukan dengan memanfaatkan organisasi
bentukan Jepang dan gerakan bawah tanah, ada pula perlawanan-perlawanan
bersenjata yang dilakukan bangsa Indonesia di antaranya sebagai berikut.
a) Perlawanan Rakyat Aceh
Dilakukan oleh Tengku Abdul Djalil, seorang ulama di Cot Plieng Aceh,
menentang peraturan-peraturan Jepang. Pada tanggal 10 November 1942, ia
melakukan perlawanan. Dalam perlawanan tersebut ia tertangkap dan ditembak
mati.
b) Perlawanan Singaparna, Jawa Barat
Dipelopori oleh K.H. Zainal Mustofa, yang menentang seikerei yakni
menghormati Kaisar Jepang. Pada tanggal 24 Februari 1944, meletus perlawanan terhadap tentara Jepang. Kiai Haji Zainal Mustofa dan beberapa
pengikutnya ditangkap Jepang, lalu dihukum mati.
c) Perlawananan Indramayu, Jawa Barat
Pada bulan Juli 1944, rakyat Lohbener dan Sindang di Indramayu
memberontak terhadap Jepang. Para petani dipimpin H. Madrian menolak
pungutan padi yang terlalu tinggi. Akan tetapi, pada akhirnya perlawanan
mereka dipadamkan Jepang.
d) Perlawanan Peta di Blitar, Jawa Timur
Perlawanan PETA merupakan perlawanan terbesar yang dilakukan rakyat
Indonesia pada masa penjajahan Jepang.
Perlawanan ini dipimpin Supriyadi, seorang Shodanco (Komandan pleton).
Peta tanggal 14 Februari 1945, perlawanan dipadamkan Jepang karena
persiapan Supriyadi dkk. kurang matang.
Para pejuang Peta yang berhasil ditangkap kemudian diadili di mahkamah
militer di Jakarta.
Beberapa di antaranya dihukum mati, seperti dr. Ismail,
Muradi, Suparyono, Halir Mangkudidjaya, Sunanto, dan Sudarmo. Supriyadi,
sebagai pemimpin perlawanan tidak diketahui nasibnya. Kemungkinan besar
Supriyadi berhasil ditangkap Jepang kemudian dihukum mati sebelum diadili.
Posting Komentar untuk "Pergerakan Nasional pada Masa Pendudukan Jepang"