Pada masa pemerintahan Jepang pelaksanaan tata pemerintahan di
Indonesia berpedoman undang-undang yang disebut Gun seirei, melalui
Osamu Seirei.
Osamu Seirei itu mengatur segala hal yang diperlukan untuk
melaksanakan pemerintahan, melalui peraturan pelaksana yang disebut
Osamu Kanrei.
Peraturan Osamu Seirei berlaku secara umum. Osamu
Kanrei sebagai peraturan pelaksana, isinya juga mengatur hal-hal yang
diperlukan untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum.
Dalam bidang hukum, pemerintah Balatentara Jepang melalui
Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942 pada Pasal 3 menyebutkan, semua
badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang
dari pemerintah yang dahulu tetap diakui untuk sementara waktu asal
saja tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah militer.
Berdasarkan Pasal 3 Osamu seirei tersebut, jelaslah, bahwa hukum
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum Balatentara
Jepang datang ke Indonesia masih tetap berlaku.
Dengan demikian, Pasal
131 IS sebagai pasal politik hukum dan pembagian golongan penghuni
Indonesia menurut Pasal 163 IS masih tetap berlaku.
Untuk golongan Eropa, Timur Asing Cina, dan Timur Asing
bukan Cina yang tunduk secara sukarela kepada hukum perdata
Eropa tetap berlaku baginya Burgerlijk Wetboek (BW) dan Wetboek van
Koophandel (WvK) serta aturan-aturan hukum perdata Eropa yang tidak
dikodifikasikan.
Adapun bagi golongan Pribumi dan golongan Timur Asing bukan
Cina yang tidak tunduk secara sukarela kepada hukum perdata Eropa
tetap berlaku aturan-aturan hukum perdata adatnya.
Selanjutnya,
pemerintah Balatentara Jepang juga mengeluarkan Gun Seirei Nomor
Istimewa 1942, Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944, memuat aturanaturan pidana yang umum dan aturan-aturan pidana yang khusus, sebagai
pelengkap peraturan yang telah ada sebelumnya.
Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942 mengatur susunan lembaga
peradilan yang terdiri atas:
- Tihoo Hooin, berasal dari landraad (Pengadilan Negeri);
- Keizai Hooin, berasal dari landgerecht (Hakim Kepolisian);
- Ken Hooin, berasal dari Regentschap Gerecht (Pengadilan Kabupaten);
- Gun Hooin, berasal dari Districts Gerecht (Pengadilan Kewedanaan);
- Kokyoo Kootoo Hooin, berasal dari Hof voor Islami etische Zaken
(Mahkamah Islam Tinggi);
- Sooyoo Hooin, berasal dari Priesterraad (Rapat Agama);
- Gunsei Kensatu Kyoko, terdiri atas Tihoo Kensatu Kyoko (Kejaksaan
Pengadilan Negeri), berasal dari Paket voor de Landraden.
Adapun wewenang Raad van Justitie dialihkan kepada Tihoo Hooin
dan Hooggereschtshof tidak disebut dalam undang-undang itu.
Semua
aturan hukum dan proses peradilannya selama zaman penjajahan Jepang
berlaku sampai Indonesia merdeka.
Selanjutnya sejarah tata hukum Indonesia sesudah tanggal 17 Agustus 1945 adalah sebagai berikut.
a. Masa Tahun 1945–1949 (18 Agustus 1945–26 Desember 1949)
Setelah bangsa Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, saat itu
bangsa Indonesia telah mengambil sikap untuk menentukan nasib
sendiri, mengatur dan menyusun negaranya serta menetapkan tata
hukumnya, sehingga pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkanlah Undang-Undang Dasar yang supel dan elastik dengan sebutan UndangUndang Dasar 1945.
Bentuk tata hukum dan politik hukum yang akan berlaku masa
itu dapat dilihat pada Pasal 1 dan 2 aturan peralihan Undang-Undang
Dasar 1945, yaitu Pasal 1 yang berbunyi:
"segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini."
Pasal 2: "semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi
sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan
belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini."
Menurut ketentuan Pasal 1 dan 2 aturan peralihan itu dapat
diketahui, bahwa semua peraturan dan lembaga yang telah ada dan
berlaku pada zaman penjajahan Belanda maupun masa pemerintahan
Balatentara Jepang, tetap diberlakukan dan difungsikan.
Dengan
demikian, tata hukum yang berlaku pada masa tahun 1945–1949 adalah
semua peraturan yang telah ada dan pernah berlaku pada masa penjajahan
Belanda maupun masa Jepang berkuasa dan produk-produk peraturan
baru yang dihasilkan oleh pemerintah negara Republik Indonesia dari
tahun 1945–1949.
b. Masa Tahun 1949–1950 (27 Desember 1949–16 Agustus 1950)
Setelah berdirinya Negara Republik Indonesia Serikat, berdasarkan
hasil Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949, berlakulah Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (KRIS), dan tata hukum yang berlaku
pada waktu itu adalah tata hukum yang terdiri atas peraturan yang
dinyatakan berlaku pada masa 1945–1949 dan produk peraturan baru
yang dihasilkan oleh pemerintah Negara Republik Indonesia Serikat
selama kurun waktu 27 Desember 1949 sampai dengan 16 Agustus 1950.
Hal tersebut telah ditentukan dalam Pasal 192 KRIS yang berbunyi:
"Peraturan-peraturan, undang-undang, dan ketentuan tata usaha
yang sudah ada pada saat konstitusi ini mulai berlaku tetap berlaku
tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan
RIS sendiri, selama dan sekadar peraturan-peraturan dan ketentuanketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau atas kuasa konstitusi ini."
Berdasarkan ketentuan Pasal 192 KRIS ini berarti aturan-aturan
hukum yang berlaku dalam negara Republik Indonesia berdasarkan Pasal
1 dan 2 aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945 tetap berlaku di
Negara Republik Indonesia Serikat.
c. Masa Tahun 1950–1959 (17 Agustus 1950 – 4 Juli 1959)
Pada tanggal 17 Agustus 1950 bangsa Indonesia kembali ke negara
kesatuan, dengan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berlaku
sampai tanggal 4 Juli 1959.
Tata hukum yang berlaku pada masa ini adalah tata hukum yang terdiri dari semua peraturan yang dinyatakan berlaku
berdasarkan Pasal 142 UUDS 1950, dan ditambah dengan peraturan
baru yang dibentuk oleh pemerintah negara selama kurun waktu dari
17–8–1950 sampai dengan 4–7–1959.
d. Masa Tahun 1959–Sekarang (5 Juli 1959 sampai Sekarang)
Setelah keluarnya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959, UndangUndang Dasar Sementara (UUDS) 1950 tidak berlaku lagi, dan kembali
berlaku Undang-Undang Dasar 1945 sampai sekarang.
Tata hukum yang
berlaku pada masa ini adalah tata hukum yang terdiri atas semua peraturan
yang berlaku pada masa tahun 1950–1959 dan yang dinyatakan masih
berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 1 dan 2 aturan peralihan UUD
1945 dengan ditambah berbagai peraturan yang dibentuk setelah Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 tersebut.
Adapun tata urutan perundang-undangan yang diatur berdasarkan
TAP MPRS Nomor XX/MPRS/1966 jo. TAP MPR Nomor V/MPR/1973
dan TAP No. IX/MPR/1978, tata urutan perundang-undangan (hierarki
perundang-undangan) adalah sebagai berikut:
- Undang-Undang Dasar 1945.
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR).
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu).
- Peraturan Pemerintah (PP).
- Keputusan Presiden.
- Peraturan Pelaksanaan lainnya seperti:
- a. Peraturan Menteri;
- b. Instruksi Menteri;
- c. dan lain-lain.
Adapun tata urutan peraturan perundang-undangan menurut TAP
MPR No.III Tahun 2000, hierarkinya sebagai berikut.
- Undang-Undang Dasar 1945.
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR).
- Undang-Undang.
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).
- Peraturan Pemerintah (PP).
- Keputusan Presiden.
- Peraturan Daerah (Perda).
Dengan terbitnya TAP MPR No. III/MPR/2000 tersebut, TAP
MPR No. XX/MPR/1966, dan TAP MPR No. IX/MPR/1978 dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Tata urutan tersebut mengandung
konsekuensi bahwa peraturan perundang-undangan yang urutannya
lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi.
Sedangkan hierarki peraturan perundang-undangan menurut
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tercantum di dalam Bab III
Pasal 7 ayat (1), yaitu sebagai berikut.
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
- Undang-Undang Dasar 1945;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
- Peraturan Pemerintah;
- Peraturan Presiden;
- Peraturan Daerah Provinsi; dan
- Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang undangan, TAP MPR Nomor III/MPR/2000, TAP MPR No. XX/
MPR/1966, dan TAP MPR No.IX/MP/1978 dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku lagi, karena belum dapat menampung perkembangan
kebutuhan masyarakat tentang aturan pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik.
Tata urutan perundang-undangan tersebut mengandung konsekuensi
bahwa peraturan perundang-undangan yang urutannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.
Jika ada suatu peraturan perundang-undangan yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, misalnya ada
undang-undang yang diduga bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar 1945, maka pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi
(MK).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa, apabila ada peratutan perundangundangan di bawah undang-undang yang diduga bertentangan dengan
undang-undang, seperti peraturan pemerintah (PP) bertentangan dengan
undang-undang, maka pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung
(MA).
Adapun materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang,
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota, dan ketentuan pidananya telah dijelaskan di dalam
Pasal 10, 11, 12, 13, 14, dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
yaitu sebagai berikut.
Pasal 10
(1) Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi:
- Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan UndangUndang;
- Pengesahan perjanjian internasional tertentu;
- Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi;
- Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
(2) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden.
Pasal 11
Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
sama dengan materi muatan Undang-Undang.
Pasal 12
Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
Pasal 13
Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan
oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan
pemerintahan.
Pasal 14
Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus
daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi.
Pasal 15
(1) Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat
dalam:
- Undang-Undang;
- Peraturan Daerah Provinsi; atau
- Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan
c berupa ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan
atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah).
(3) Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan yang diatur
dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya.
Posting Komentar untuk "Tata Hukum Masa Jepang (Osamu Seirei)"