SEJARAH TATA HUKUM DI INDONESIA
Dalam bahasa Latinnya adalah historis. Istilah ini menyebar luas menjadi historia (bahasa Spanyol), historie (bahasa Belanda), histoire (bahasa Prancis), dan storia (bahasa Italia).
Adapun dalam bahasa Jermannya, semula dipergunakan istilah Geschichte, yang berasal dari kata geschehen, yang berarti sesuatu yang terjadi. Adapun istilah historie menyatakan kumpulan fakta kehidupan dan perkembangan manusia.
Dengan demikian, sejarah adalah suatu cerita dari kejadian masa lalu yang dikenal dengan sebutan legenda, kisah, hikayat, dan sebagainya yang kebenarannya belum tentu tanpa bukti-bukti sebagai hasil suatu penelitian.
Di samping itu, sejarah dapat juga diartikan sebagai suatu pengungkapan dari kejadian-kejadian masa lalu.
Menurut Soerjono Soekanto, sejarah adalah pencatatan yang bersifat deskriptif dan interpretative, mengenai kejadian-kejadian yang dialami oleh manusia pada masa-masa lampau, yang ada hubungannya dengan masa kini.
Apabila dilihat dari kegunaannya, sebagai pegangan dapat diartikan sejarah adalah suatu pencatatan dari kejadian-kejadian penting masa lalu yang perlu diketahui, diingat, dan dipahami oleh setiap orang atau suatu bangsa masa kini.
Jadi, sejarah tata hukum Indonesia adalah suatu pencatatan dari kejadian-kejadian penting mengenai tata hukum Indonesia pada masa lalu yang perlu diketahui, diingat, dan dipahami oleh bangsa Indonesia.
Sejarah tata hukum Indonesia terdiri atas sebelum tanggal 17 Agustus 1945 dan sesudah tanggal 17 Agustus 1945. Sebelum tanggal 17 Agustus 1945 terdiri atas:
- Masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) (1602–1799).
- Masa Besluiten Regerings (1814–1855).
- Masa Regerings Reglement (1855–1926).
- Masa Indische Staatsregeling (1926–1942).
- Masa Jepang (Osamu Seirei) (1942–1945).
Adapun sesudah tanggal 17 Agustus 1945 adalah sebagai berikut.
- Masa 1945–1949 (18 Agustus 1945 – 26 Desember 1949).
- Masa 1949–1950 (27 Desember 1949 – 16 Agustus 1950).
- Masa 1950–1959 (17 Agustus 1950 – 4 Juli 1959).
- Masa 1959–sekarang (5 Juli 1959–sekarang).
1. Masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) (1602– 1799)
Setelah orang-orang Belanda berada di Indonesia dengan mendirikan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada tahun 1602 dengan tujuan supaya tidak terjadi persaingan antarpara pedagang yang membeli rempah-rempah dari orang-orang pribumi, dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang besar di pasaran Eropa.
Vereenigde Oostindische Compagnie dalam berdagang diberi hak istimewa oleh pemerintah Belanda yang disebut hak octrooi yang meliputi monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian, dan mencetak uang.
Dengan hak octrooi itu VOC melakukan ekspansi penjajahan di daerah kepulauan Nusantara, dan menanamkan penekanan dalam bidang perekonomian dengan memaksakan aturan hukumnya yang dibawa dari negeri asalnya untuk ditaati oleh orang-orang pribumi.
Peraturan tersebut merupakan hukum positif orang Belanda di daerah perdagangan, yakni ketentuan-ketentuan hukum yang dijalankan di atas kapal-kapal dagang. Ketentuan hukum tersebut sama dengan hukum Belanda kuno yang sebagian besar merupakan hukum disiplin.
Sejak Gubernur Jenderal Pieter Both diberi wewenang untuk membuat peraturan yang diperlukan oleh VOC di daerah yang dikuasainya, maka setiap peraturan yang dibuat itu diumumkan berlakunya melalui ”pelekat”.
Kemudian pelekat itu dihimpun dan diumumkan dengan nama Statuten Van Batavia (Statuta Betawi) pada tahun 1642. Statuta tersebut berlaku sebagai hukum positif baik orang-orang pribumi maupun orang pendatang dan sama kekuatan berlakunya dengan peraturan lain yang telah ada.
Peraturan hukum yang dibuat oleh VOC, pada masa ini pun kaidah hukum adat Indonesia tetap dibiarkan berlaku bagi orang Bumiputra (pribumi). Akan tetapi, dalam berbagai hal VOC mencampuri peradilan adat dengan alasan-alasan, bahwa:
- sistem hukum pada hukum adat, tidak memadai untuk memaksakan rakyat menaati peraturan-peraturan;
- hukum adat ada kalanya tidak mampu menyelesaikan suatu perkara, karena persoalan alat-alat bukti;
- adanya tindakan-tindakan tertentu yang menurut hukum adat bukan merupakan kejahatan, sedangkan menurut hukum positif merupakan tindak pidana yang harus diberikan suatu sanksi.
Salah satu contoh tentang campur tangan penjajah adalah diadakannya pakem cirebon sebagai pegangan bagi hakim peradilan adat, yang isinya antara lain memuat sistem hukuman, seperti pemukulan, cap bakar, dan dirantai.
Pada zaman ini daerah Indonesia, misalnya Aceh sudah dikenal sistem penghukuman yang kejam seperti hukuman mati bagi seorang istri yang melakukan perzinaan, hukuman potong tangan bagi orang mencuri, hukuman menumbuk kepala dengan alu lesung bagi orang pembunuh tanpa hak.
Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa ketika VOC berkuasa, tata hukum yang berlaku adalah aturan-aturan yang berasal dari negeri Belanda dan aturan yang diciptakan oleh Gubernur Jenderal yang berkuasa di daerah kekuasaan VOC, serta aturan tidak tertulis maupun tertulis yang berlaku bagi orang-orang pribumi, yakni hukum adatnya masing masing.
Pada tanggal 31 Desember 1799, pemerintah Belanda akhirnya membubarkan VOC karena banyak menanggung utang.
2. Masa Besluiten Regerings (1814–1855)
Kekuasaan mutlak raja itu diterapkan pula dalam membuat dan mengeluarkan peraturan yang berlaku umum dengan sebutan Algemene Verordening (Peraturan Pusat).
Karena peraturan pusat itu dibuat oleh raja, maka dinamakan Koninklijk Besluit (besluit raja) yang pengundangannya dibuat oleh raja melalui Publicatie, yakni surat selebaran yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal.
Dilihat dari isi Koninklijk Besluit itu mempunyai dua sifat tergantung dari kebutuhannya, yaitu:
- Besluit sebagai tindakan eksekutif raja, misalnya ketetapan pengangkatan Gubernur Jenderal;
- Besluit sebagai tindakan legislatif, yaitu mengatur misalnya berbentuk Algemene Verordening atau Algemene Maatregel Van Bestur (AMVB) di negeri Belanda.
Dalam rangka melaksanakan pemerintahan di Nederlands Indie (Hindia Belanda), raja mengangkat Komisaris Jenderal yang terdiri atas Elout, Buyskes, dan Vander Capellen.
Para Komisaris Jenderal itu tidak membuat peraturan baru untuk mengatur pemerintahannya, dan tetap memberlakukan undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku pada masa Inggris berkuasa di Indonesia, yakni mengenai landrente dan usaha pertanian dan susunan pengadilan buatan Raffles.
Dalam bidang hukum peraturan yang berlaku bagi orang Belanda tidak mengalami perubahan, karena menunggu terwujudnya kodifikasi hukum yang direncanakan oleh pemerintah Belanda. Lembaga peradilan yang diperlakukan bagi orang pribumi tetap dipergunakan peradilan Inggris.
Untuk memenuhi kekosongan kas negara Belanda sebagai akibat dari pendudukan Prancis tahun 1810–1814, Gubernur Jenderal Du Bus de Gesignes memperlakukan politik agraria dengan cara mempekerjakan para terpidana pribumi yang dikenal dengan dwangarbeid (kerja paksa) berdasarkan pada Staatsblad 1828 nomor 16, yang dibagi atas dua golongan, yaitu:
- yang dipidana kerja rantai;
- yang dipidana kerja paksa.
Dipidana kerja rantai, ditempatkan dalam suatu tuchtplaats dan akan dipekerjakan pada openbare werker di Batavia dan Surabaya.
Adapun yang dipidana kerja paksa, baik yang diupah maupun tidak, ditempatkan dalam suatu werkplaats dan akan dipekerjakan pada landbouweta blissementen yang dibuat oleh Pemerintah.
Pada tahun 1830 pemerintah Belanda berhasil mengkodifikasikan hukum perdata. Pengundangan hukum yang sudah berhasil dikodifikasi itu baru dapat terlaksana pada tanggal 1 Oktober 1838. Hal ini disebabkan terjadinya pemberontakan di bagian selatan Belanda pada bulan Agustus 1830.
Selanjutnya, timbul pemikiran tentang pengkodifikasian hukum perdata bagi orang Belanda yang berada di Hindia Belanda.
Untuk maksud itu pada tanggal 15 Agustus 1839 menteri jajahan di Belanda mengangkat Komisi undang-undang bagi Hindia Belanda yang terdiri atas Mr. Scholten van Oud Haarlem sebagai ketua, Mr. J. Schmither, dan Mr. J.F.H. van Nes sebagai anggota.
Komisi ini dalam tugasnya dapat menyelesaikan beberapa peraturan yang kemudian oleh Mr. H.L. Wicher disempurnakan, yaitu:
- Reglement op de Rechterlijke Organisatie (RO) atau Peraturan Organisasi Pengadilan (POP).
- Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB) atau Ketentuan Umum tentang Perundang-undangan.
- Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (KUHS)/Perdata (KUH Perdata).
- Wetboek van Koophandel (WvK) atau Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
- Reglement op de Burgerlijke Rechts vordering (RV) atau peraturan tentang Acara Perdata (AP).
Berdasarkan kenyataan sejarah di atas dapat dijelaskan bahwa tata hukum pada masa Besluiten Regerings (BR) terdiri atas peraturan tertulis yang dikodifikasikan, dan yang tidak dikodifikasi, serta peraturan tidak tertulis (hukum adat) yang khusus berlaku bagi orang bukan golongan Eropa.
3. Masa Regerings Reglement (1855–1926)
Hal ini dicantumkannya Pasal 59 ayat (I), (II), dan (IV) Grondwet yang menyatakan bahwa ayat (I) raja mempunyai kekuasaan tertinggi atas daerah jajahan dan harta kerajaan di bagian dari dunia.
Ayat (II) dan (IV) aturan tentang kebijaksanaan pemerintah ditetapkan melalui undang-undang sistem keuangan ditetapkan melalui undang-undang. Hal-hal lain yang menyangkut mengenai daerah-daerah jajahan dan harta, kalau diperlukan akan diatur melalui undang-undang.
Menurut ketentuan Pasal 59 ayat (I), (II), dan (IV) di atas, kekuasaan raja terhadap daerah jajahan menjadi berkurang.
Peraturan yang menata daerah jajahan tidak semata-mata ditetapkan oleh raja dengan Koninklijk Besluit-nya, tetapi ditetapkan bersama oleh raja dengan parlemen, sehingga sistem pemerintahannya berubah dari monarki konstitusional menjadi monarki parlementer.
Peraturan dasar yang dibuat bersama oleh raja dengan parlemen untuk mengatur pemerintahan daerah jajahan di Indonesia adalah Regerings Reglement.
Regerings Reglement ini berbentuk undang-undang yang diundangkan melalui Staatsblad 1855 Nomor 2 yang isinya terdiri atas 130 pasal dan 8 bab dan mengatur tentang pemerintahan di Hindia Belanda, sehingga RR ini dianggap sebagai undang-undang dasar pemerintahan jajahan Belanda.
Politik hukum pemerintahan Belanda yang mengatur tentang tata hukum dicantumkan dalam Pasal 75 RR dan asasnya sama sebagaimana termuat dalam Pasal 11 AB, yaitu dalam menyelesaikan perkara perdata hakim diperintahkan untuk menggunakan hukum perdata Eropa bagi golongan Eropa dan hukum perdata adat bagi orang bukan Eropa.
Selanjutnya RR mengalami perubahan pada tahun 1920 pada pasal tertentu, sehingga dinamakan RR baru yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 1920 sampai tahun 1926.
Golongan penduduk dalam Pasal 75 RR itu diubah dari dua golongan menjadi tiga golongan, yaitu golongan Eropa, golongan Timur Asing dan golongan Indonesia (Pribumi). Pada masa berlakunya RR telah berhasil diundangkan kitab-kitab hukum, yaitu sebagai berikut.
- Kitab hukum pidana untuk golongan Eropa melalui Staatsblad 1866 Nomor 55 sebagai hasil saduran dari Code Penal yang berlaku di Belanda pada waktu itu.
- Algemeen Politie Strafreglement sebagai tambahan kitab hukum pidana untuk golongan Eropa tahun 1872.
- Kitab hukum pidana bagi orang bukan Eropa melalui Staatsblad 1872 Nomor 85 yang isinya hampir sama dengan Kitab hukum pidana Eropa tahun 1866.
- Politie Strafreglement bagi orang bukan Eropa melalui Staatsblad 1872 Nomor 111.
- Wetboek van Strafrecht diundangkan pada tahun 1915 dengan Staatsblad 1915 Nomor 732 di Hindia Belanda dalam suatu kodifikasi yang berlaku bagi semua golongan penduduk mulai tanggal 1 Januari 1918.
4. Masa Indische Staatsregeling (1926–1942)
Pada masa berlakunya IS tata hukum yang berlaku di Hindia Belanda adalah pertama-tama yang tertulis dan yang tidak tertulis (hukum adat) dan sifatnya masih pluralistis khususnya hukum perdata.
Hal ini tampak pada ketentuan Pasal 131 IS yang juga menjelaskan bahwa pemerintah Hindia Belanda membuka kemungkinan adanya usaha untuk unifikasi hukum bagi ketiga golongan penduduk Hindia Belanda, yaitu Eropa, Timur Asing, dan Pribumi yang ditetapkan dalam Pasal 163 IS.
Tujuan pembagian golongan penduduk sebenarnya adalah untuk menentukan sistem-sistem hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan, yaitu sebagai berikut.
1. Golongan Eropa sebagaimana tercantum dalam Pasal 131 IS adalah hukum perdata, yaitu Burgerlijk Wetboek (BW) dan Wetboek van Koophandel (WvK) yang diundangkan berlakunya tanggal 1 Mei 1848, dengan asas konkordansi.
Adapun hukum pidana materiil, yaitu Wetboek van Strafrecht (WvS) yang diundangkan berlakunya tanggal 1 Januari 1918 melalui Staatsblad 1915 Nomor 732, dan hukum acara yang dilaksanakan dalam proses pengadilan bagi golongan Eropa di Jawa dan Madura diatur dalam Reglement op de Burgerlijke Rechts Vordering untuk proses perdata, dan Reglement op de Straf Vordering untuk proses perkara pidana, yang keduanya mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1918. Adapun susunan peradilan yang dipergunakan untuk golongan Eropa di Jawa dan Madura adalah
- Residentte Gerecht;
- Raad van Justitie;
- Hooggerechtshof.
- Staatsblad 1933 nomor 48 jo. Staatsblad 1939 Nomor
- tentang peraturan pembukuan kapal; 2) Staatsblad 1933 Nomor 108 tentang peraturan umum untuk perhimpunan koperasi; 3) Staatsblad 1938 Nomor 523 tentang ordonansi orang yang meminjamkan uang;
- Staatsblad 1938 Nomor 524 tentang ordonansi riba.
- Staatsblad 1927 Nomor 91 tentang koperasi pribumi;
- Staatsblad 1931 Nomor 53 tentang pengangkatan wali di Jawa dan Madura;
- Staatsblad 1933 Nomor 74 tentang perkawinan orang Kristen di Jawa, Minahasa, dan Ambon;
- Staatsblad 1933 Nomor 75 tentang pencatatan jiwa bagi orang Indonesia di Jawa, Madura, Minahasa, Amboina, Saparua, dan Banda;
- Staatsblad 1939 Nomor 569 tentang Maskapai Andil;
- Staatsblad 1939 Nomor 570 tentang Perhimpunan Pribumi. Semua Staatsblad di atas adalah ordonansi yang berkaitan dengan bidang hukum perdata.
5. Masa Jepang (Osamu Seirei)
- Tihoo Hooin, berasal dari landraad (Pengadilan Negeri);
- Keizai Hooin, berasal dari landgerecht (Hakim Kepolisian);
- Ken Hooin, berasal dari Regentschap Gerecht (Pengadilan Kabupaten);
- Gun Hooin, berasal dari Districts Gerecht (Pengadilan Kewedanaan);
- Kokyoo Kootoo Hooin, berasal dari Hof voor Islami etische Zaken (Mahkamah Islam Tinggi);
- Sooyoo Hooin, berasal dari Priesterraad (Rapat Agama);
- Gunsei Kensatu Kyoko, terdiri atas Tihoo Kensatu Kyoko (Kejaksaan Pengadilan Negeri), berasal dari Paket voor de Landraden.
a. Masa Tahun 1945–1949 (18 Agustus 1945–26 Desember 1949)
b. Masa Tahun 1949–1950 (27 Desember 1949–16 Agustus 1950)
c. Masa Tahun 1950–1959 (17 Agustus 1950 – 4 Juli 1959)
d. Masa Tahun 1959–Sekarang (5 Juli 1959 sampai Sekarang)
- Undang-Undang Dasar 1945.
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR).
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).
- Peraturan Pemerintah (PP).
- Keputusan Presiden.
- Peraturan Pelaksanaan lainnya seperti:
- Peraturan Menteri;
- Instruksi Menteri;
- dan lain-lain.
- Undang-Undang Dasar 1945.
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR).
- Undang-Undang.
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).
- Peraturan Pemerintah (PP).
- Keputusan Presiden.
- Peraturan Daerah (Perda).
- Undang-Undang Dasar 1945;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
- Peraturan Pemerintah;
- Peraturan Presiden;
- Peraturan Daerah Provinsi; dan
- Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Posting Komentar untuk "SEJARAH TATA HUKUM DI INDONESIA"