Perkembangan Psikologi di Dunia dan di Indonesia
Sebelum kita membicarakan lebih mendalam tentang
aliran-aliran dan tokoh dalam psikologi, yang akan dibahas
pada bab IV, akan kita bicarakan terlebih dahulu secara singkat
perkembangan sejarah psikologi sejak mula awalnya hingga
sekarang (di Indonesia).
Diskusi mengenai skema sejarah
psikologi ini akan diperlukan untuk memahami peranan dari
tiap-tiap aliran dan tokoh dalam suatu rangkaian yang besar
dan bagaimana aliran dan tokoh yang berbeda-beda dan
mewakili pemikiran-pemikiran yang berbeda-beda pula itu
saling mempengaruhi atau saling mengkritik satu sama lain.
Untuk mengerti pikiran-pikiran Watson misalnya, kita harus
mengetahui terlebih dahulu pikiran-pikiran Wundt, karena
sebenarnya teori Watson tidak lain daripada antitesa atau
protes atau kritik terhadap teori yang disampaikan oleh
Wundt.
Demikian juga kita tidak bisa memahami Freud
dengan baik tanpa mempunyai pemahaman yang baik tentang
murid-muridnya seperti Jung dan Adler. Maka berikut adalah
ikhtisar, skema atau uraian singkat tentang sejarah atau
perkembangan psikologi sejak awal mulanya.
Dalam garis besarnya, sejarah psikologi dapat dibagi
dalam dua tahap utama, yaitu masa sebelum dan masa
sesudah menjadi ilmu yang berdiri sendiri. Kedua tahap ini
dibatasi oleh berdirinya laboratorium psikologi yang pertama
di Leipzig pada tahun 1879 oleh Wilhelm Wundt.
Sebelum
tahun 1879, psikologi dianggap sebagai bagian dari filsafat
atau ilmu faal, karena psikologi masih dibicarakan oleh
sarjana-sarjana dari kedua bidang ilmu itu yang kebetulan
mempunyai minat terhadap gejala jiwa, tetapi tentu saja
penyelidikan-penyelidikan mereka masih terlalu dikaitkan
dengan bidang lain ilmu mereka sendiri saja.
Pada saat Wundt
berhasil mendirikan laboratorium psikologi di Leipzig, para
sarjana kemudian baru mulai menyelidiki gejala-gejala
kejiwaan secara lebih sistematis dan objektif.
Metode-metode
baru diketemukan untuk mengadakan pembuktian-pembuktian nyata dalam psikologi sehingga lambat laun dapat
disusun teori-teori psikologi yang terlepas dari ilmu-ilmu
induknya.
Sejak masa itu pulalah psikologi mulai bercabangcabang ke dalam aliran-aliran, karena bertambahnya jumlah
sarjana psikologi tentu saja menambah keragaman berpikir
dan banyak pikiran-pikiran itu yang tidak dapat disatukan satu
sama lain.
Karena itulah maka mereka yang merasa sepikiran,
sependapat, menggabungkan diri dan menyusun suatu aliran
tersendiri. Aliran-aliran strukturalisme, fungsionalisme, behaviorisme, dan sebagainya adalah aliran-aliran yang tumbuh
setelah lahirnya laboratorium pertama di Leipzig tersebut.
Minat untuk menyelediki gejala kejiwaan sudah lama
sekali ada di kalangan umat manusia ini. Mula-mula sekali ahliahli filsafat dari zaman Yunani Kuno lah yang mulai
memikirkan tentang gejala-gejala kejiwaan.
Pada waktu itu
belum ada pembuktian-pembuktian nyata atau empiris, melainkan segala teori dikemukakan berdasarkan argumentasiargumentasi logis (akal) belaka.
Dengan perkataan lain,
psikologi pada waktu itu benar-benar masih merupakan bagian dari filsafat dalam arti kata semurni-murninya.
Tokohtokoh filsafat tersebut yang banyak mengemukakan teoriteori psikologi antara lain adalah Plato (427 – 347 SM) dan
Aristoteles (384 – 322 SM).
Berabad-abad setelah itu, psikologi masih juga masih
merupakan bagian dari filsafat, antara lain di Perancis muncul
Rene Descarters (1596 – 1650) yang terkenal dengan teori tentang kesadaran dan di Inggris muncul tokoh-tokoh seperti
John Locke (1623 – 1704), George Berkeley (1685 – 1753),
James Mill (1773- 1836) dan anaknya John Stuart Mill (1806 –
1873) yang semuanya itu dikenal sebagai tokoh-tokoh aliran
asosiasionisme.
Sementara itu sejumlah sarjana ahli ilmu faal juga mulai menaruh minat pada gejala-gejala kejiwaan. Mereka melakukan eksperimen-eksperimen dan mengemukakan teoriteori yang kemudian besar pengaruhnya pada perkembangan
psikologi selanjutnya.
Teori-teori yang dikemukakan oleh ahliahli ilmu faal ini berkisar tentang syaraf-syaraf sensoris dan motoris, pusat-pusat sensoris dan motoris di otak, dan hukumhukum yang mengatur bekerjanya syaraf-syaraf tersebut.
Tokoh-tokoh dari ilmu faal ini antara lain adalah C. Bell (1774
– 1842), F. Magendie (1785 – 1855), J. P. Muller (1801 – 1858),
P. Broca (1824 – 1880) dan sebagainya. Dalam hubungan ini
kiranya perlu dicatat secara khusus nama seorang sarjana
Rusia.
I. P. Pavlov (1849 – 1936), karena dari teori-teorinya
tentang reflex kemudian akan berkembang aliran Behaviorisme di Amerika Serikat, yaitu aliran psikologi yang hanya
mau mengakui tingkah laku-tingkah laku yang nyata sebagai
objek studinya dan menolak anggapan-anggapan sarjana
psikologi lainnya yang mempelajari pula tingkah laku yang
tidak nampak dari luar.
Selain daripada itu perlu pula dikemukakan peranan seorang dokter berdarah campuran InggrisSkotlandia bernama William McDougall (1871 – 1938) yang
telah memberi inspirasi pula kepada aliran-aliran Behaviorisme di Amerika Serikat melalui teori-teorinya yang dikenal
dengan nama purpose psychology (psikologi purposif atau
psikologi bertujuan).
Pada saat yang bersamaan, para sarjana baik dari filsafat maupun dari bidang ilmu faal sedang bersibuk diri dengan
usaha untuk menerangkan gejala-gejala kejiwaaan secara ilmiah, muncul pula beberapa tokoh yang secara spekulatif
mencoba untuk menerangkan gejala-gejala kejiwaan dari segi
lain.
F. J. Gall (1785 – 1828) yang mengemukakan teori bahwa
jiwa manusia dapat diketahui dengan cara meraba tengkorak-tengkorak kepala orang yang bersangkutan. Teori ini dikenal
dengan sebutan phrenology.
Selain itu, ada pula palmistry
(ilmu rajah tangan), astrologi(ilmu perbintangan), numerology
(ilmu angka-angka). Metode-metode pada pendekatan ini seolah-olah ilmiah namun pada hakekatnya hanya bersifat
ilmiah semu (pseudo science).
Pada tahun 1879 adalah tahun yang sangat penting
dalam sejarah psikologi. Pada tahun inilah Wundt mendirikan
laboratorium psikologi yang pertama kali di Leipzig, Jerman
yang dianggap sebagai pertanda berdiri sendirinya psikologi
sebagai ilmu yang terpisah dari ilmu-ilmu induknya (filsafat
dan faal).
Pada tahun ini pula, Wundt memperkenalkan
metode yang digunakan dalam eksperimen-eksperimen, yaitu
metode introspeksi. Wundt kemudian dikenal sebagai seorang
yang menganut strukturalisme karena ia mengemukakan
suatu teori yang menguraikan struktur (susunan, komposisi)
dari jiwa.
Wundt juga dikenal sebagai seorang penganut
elementisme, karena ia percaya bahwa jiwa terdiri dari
elemen-elemen.
Ia pun dianggap sebagai tokoh asosiasionisme, karena ia percaya bahwa asosiasi adalah mekanisme
yang terpenting dalam jiwa, yang menghubungkan elemenelemen kejiwaan satu sama lainnya sehingga membentuk satu
struktur kejiwaan yang utuh.
Ajaran-ajaran Wundt ini kemudian disebarluaskan ke
Amerika Serikat oleh E. B. Titchener (1867 – 1927). Akan tetapi
tidak dapat respon positif karena orang Amerika terkenal praktis dan pragmatis.
Teori ini tidak diterima karena dianggap
terlalu abstrak dan kurang dapat diterapkan secara langsung
dalam kenyataan. Sarjana psikologi di Amerika kemudian
membentuk aliran sendiri yang disebut fungsionalisme
dengan tokoh-tokohnya antara lain William James (1842 –
1910) dan J. M. Cattel (1866 – 1944).
Sesuai dengan namanya
aliran ini lebih mengutamakan mempelajari fungsi-fungsi jiwa
daripada mempelajari strukturnya. Aliran ini kemudian yang
akan menjadi peninggalan penting dalam psikotes yang
banyak digunakan pada berbagai setting kehidupan.
Psikotes
ini merupakan teknis evaluasi psikologi oleh J. M. Cattell.
Namun demikian aliran fungsionalisme ini pun juga
masih dikritik di Amerika Serikat. Hal ini disebabkan karena
dianggap masih terlalu abstrak.
Golongan terkahir ini menghendaki agar psikologi hanya mempelajari hal-hal yang benarbenar objektif, karena itu mereka hanya mau mengakui tingkah laku yang nyata (dapat diukur dan dapat dilihat) sebagai
objek psikologi.
Pandangan ini dipelopori oleh J. B. Watson
(1878 – 1958), dikembangkan selanjutnya oleh tokoh-tokoh
antara lain E.C. Tolamn (1886 – 1959) dan B. F. Skinner (1904
– 1990).
Sementara itu, di Jerman sendiri ajaran-ajaran Wundt
mulai mendapat kritik dan koreksi.
Salah satu murid Wundt, O.
Kulpe (1862 – 1915), adalah salah satu yang kurang puas
dengan ajaran Wundt dan memisahkan diri dari Wundt untuk mendirikan aliran sendiri di Wurzburg. Aliran ini yang kemudian dikenal sebagai aliran Wurzburg menolak anggapan
Wundt bahwa berpikir itu selalu berupa image (bayangan
dalam alam pikiran).
Menurut Kulpe, pada tingkat berpikir
yang lebih tinggi apa yang dipikirkan itu tidak lagi berupa
image, sehingga Kulpe mengemukakan bahwa ada pikiran
yang tak berbayangan (imageless thought).
Reaksi lain terhadap Wundt di Eropa datang dari aliran
Psikologi Gestalt.
Aliran ini menolak ajaran elementisme dari
Wundt dan berpendapat bahwa gejala kejiwaan (khususnya
persepsi, karena inilah yang banyak diteliti oleh aliran ini)
haruslah dilihat sebgai keseluruhan yang utuh, yang tidak terpecah-pecah dalam bagian-bagian dan harus dilihat sebagai
suatu “Gestalt”.
Tokoh-tokoh dari aliran ini adalah M. Wertheimer (1880 – 1943), K. Kofka (1886 – 1941) dan W. Kohler
(1887 – 1967).
Aliran Gestal berkembang lebih lanjut. Antara lain
dengan melalui tokoh bernama Kurt Lewin (1890 – 1947), yang
membawa aliran ini ke Amerika Serikat, berkembang aliran
baru yang dinamakan Psikologi Kognitif.
Aliran ini merupakan
perpaduan antara aliran behaviorisme yang pada tahun 1940-
an itu sudah ada di Amerika Serikat dengan aliran Psikologi
Gestalt yang dibawa oleh K. Lewin. Aliran ini menitikberatkan
pada proses-proses sentral (misalnya: sikap, ide, harapan)
untuk mewujudkan tingkah laku.
Perkembangan Psikologi Gestalt di Amerika dan berjumpa dengan aliran Behaviorisme melahirkan aliran Psikologi
Kognitif.
Tokoh-tokohnya antara lain F. Heider dan L. Festinger. Aliran ini khususnya mempelajari hal-hal yang terjadi
dalam alam kesadaran (kognisi) dan besar pengaruhnya dalam
cabang Psikologi Sosial, khususnya untuk mempelajari
hubungan antar manusia.
Pada perkembangan selanjutnya, peranan dokterdokter khususnya psikiater (ahli penyakit jiwa) dalam perkembangan psikologi menjadi penting untuk dilihat juga.
Dokter-dokter ini umumnya tertarik pada penyakit-penyakit
jiwa, khususnya psikoneurosis, dan berusaha mencari sebabsebab penyakit ini untuk mencari teknis penyembuhannya
(terapi) yang tepat.
Teknik-teknik terapi seperti magnetism
dan hipnotisme akhirnya meyakinkan pada dokter ini bahwa
dibelakang kesadaran manusia, terdapat kualitas kejiwaan
yang lain yang disebut ketidaksadaran (unconsciousness) dan
justru dalam alam ketidaksadaran itulah terletak berbagai
konflik kejiwaan yang menyebabkan penyakit-penyakit
kejiwaan.
Sigmund Freud (1856 – 1939) adalah orang yang
pertama yang secaara sistematis menguraikan kualitaskualitas kejiwaan itu beserta dinamikanya untuk menerangkan
kepribadian orang dan untuk diterapkan dalam teknik
psikoterapi dan aliran atau teorinya disebut psikoanalisa.
Aliran ini juga dikenal dengan istilah psikologi dalam (depth
psychology), karena aliran ini tidak hanya berusaha menerangkan segala sesuatu yang nampak dari luar saja,
melainkan khususnya berusaha menerangkan apa yang terjadi
di dalam atau di bawah kesadaran itu.
Pengaruh psikoanalisa
ini besar sekali terhadap perkembangan psikologi sampai
sekarang.
Dua aliran yang sampai hari ini masih dianggap
berpengaruh besar yakni Behaviorisme dan Psikoanalisis.
Keduanya dipandang terlalu memandang manusia dari satu
segi saja.
Behaviorisme dianggap memandang manusia hanya
sebagai makhluk reflex, sementara Psikoanalisis hanya
memandang manusia sebagai makhluk yang dikendalikan oleh
ketidaksadarannya. Karena itu muncul aliran Psikologi Holistik
atau Humanistik dengan tokoh-tokohnya antara lain Abraham
Maslow (1908 – 1970) dan Carl Rogers (1902 0 1987).
Aliran ini
dinamakan holistik karena memandang manusia sebagai
keseluruhan dan dinamakan Humansitik karena memandang
manusia sebagai itu sendiri, sebagai manusia yang mengalami
dan menghayati, bukan sekedar sebagai kumpulan reflex atau
kumpulan naluri ketidaksaran.
Pada buku ini akan diuraikan dalam bab tersendiri
mengenai aliran-aliran psikologi ini. Hal ini maksudkan agar
lebih mudah bagi pembaca (mahasiswa) dalam melihat
kaitannya dengan pembentukan perilaku manusia.
Keberadaan psikologi di Indonesia di mulai pada tahun
1952.
Walaupun memiliki sejarah yang jauh lebih pendek dari
pada keberadaan psikologi di negara-negara barat, namun kebutuhan akan adanya psikologi di Indonesia sama besar di
negara-negara Barat.
Sebagai negara berkembang, psikologi di
Indonesia dibutuhkan dalam bidang kesehatan, bisnis,
pendidikan, politik, permasalahan sosial, dan lain-lain.
Seperti psikologi di Barat yang memiliki sejarah yang
rumit, begitu pula psikologi di Indonesia.
Tetapi psikologi Barat
tidak selalu dapat diterapkan di Indonesia. Bahkan psikologi
yang dapat diterapkan pada etnik tertentu di Indonesia belum
tentu berlaku pada etnik lainnya. Misalnya standar IQ dari
Wechsler-Bellevue yang berlaku di negara-negara Barat tidak
berlaku di Indonesia.
Lanjut lagi, standar yang berlaku bagi
golongan etnis dan kelas sosial di Indonesia tertentu di
Indonesia belum tentu berlaku bagi golongan etnik atau kelas
sosial lainnya. Dengan demikian, diperlukan penelitian
psikologi mengenai basic nature di Indonesia.
Di sisi lain,
terdapat berbagai kendala seperti dana dan sumber daya
manusia yang sangat terbatas. Komunitas sosial berbagai
institusi dan pemerintah sendiri yang semakin membutuhkan
psikologi sebagai ilmu terapan juga tidak mampu
menyediakan dana dan sarana yang memadai untuk
penelitian.
Selain berbagai masalah di atas, Indonesia juga
menghadapi masalah-masalah yang dihadapi oleh psikologi di
Barat.
Asal-usul yang sangat luas, definisi yang bervariasi, teori
dan metodologi yang saling bertentangan, dan aplikasi yang
sangat luas dan beragam adalah masalah-masalah yang juga dihadapi oleh psikologi di Indonesia.
Guru besar, staf pengajar,
dan praktisi yang berbeda menggunakan pendekatan, teori
dan metodologi yang berbeda pula dalam melihat suatu
masalah yang sama.
Hal ini menimbulkan kebingungan pada
masyarakat awam mengingat masyarakat Indonesia belum
dapat menerima psikologi sebagai suatu yang liberal, yang
dapat melihat sesuatu dari sudut pandang seperti halnya di
negara-negara Barat.
Masyarakat Indonesia masih cenderung
mengharapkan psikologi sebagai suatu ilmu yang pasti dapat
memberikan jawaban dan menyelesaikan yang pasti bagi
berbagai permasalahan seperti ilmu kedokteran.
Psikologi diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1952 oleh Slamet
Imam Santoso, profesor psikiatri di
fakultas kedokteran, Universitas
Indonesia.
Pada pidato pengakuannya
sebagai profesor, Slamet menceritakan pengalamannya dengan pasien-pasiennya yang kebanyakan anggota militer dan pegawai pemerintah
yang mengalami gangguan psikosomatis karena tidak mampu
mengerjakan pekerjaan barunya setelah Indonesia mengambil
alih pemerintahan dari kolonial Belanda pada tahun 1950.
Menurut Slamet, psikiatri membutuhkan ilmu psikologi untuk
menjelaskan potensi-potensi manusia guna menyeleksi orang yang tepat pada tempat (pekerjaan) yang tepat (the right man
in the right place).
Setelah pidato tersebut, diselenggarakan kursus pelatihan di Universitas Indonesia terhadap para asisten psikolog,
dan beberapa tahun kemudian kursus itu menjadi jurusan
psikologi di fakultas kedokteran, Universitas Indonesia.
Slamet
ditunjuk sebagai ketua jurusan tersebut. Psikologi pertama
yang lulus adalah Fuad Hassan pada tahun 1958. Pada tahun
1960, Depertemen psikologi tersebut berdiri sendiri menjadi
Fakultas Psikologi dengan Slamet sebagai dekan pertama
sebelum digantikan dengan Fuad Hassan pada tahun tujuhpuluhan (selain menjadi guru besar dan Dekan Fakultas
Psikologi di Universitas Indonesia, Fuad Hassan kemudian
menjadi duta besar dan menteri pendidikan dan kebudayaan).
Sementara itu, ditahun 1950-an terdapat juga
beberapa psikolog yang dikirim TNI dan pemerintah untuk
menjalani pendidikan psikologi di Belanda dan Jerman.
Sekembalinya di Indonesia mereka yang dikirim oleh TNI
kemudian ditempatkan di Pusat Psikologi untuk Angkatan
Darat dan Angkatan Udara di Bandung, sedangkan yang
lainnya ditempatkan di Jakarta untuk menjadi staf di Fakulas
Psikologi di Universitas Indonesia.
Para psikologi yang ditempatkan di Bandung kemudian
mendirikan Fakultas Psikologi di Universitas Padjajaran pada
tahun 1961.
Posting Komentar untuk "Perkembangan Psikologi di Dunia dan di Indonesia"