Pendekatan Psikologi Dakwah
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa sebagai kegiatan dakwah adalah
peristiwa komunikasi. Komunikasi menarik perhatian banyak disiplin ilmu, dengan
pendekatan yang berbeda-beda.
Sosiologi misalnya, mempelajari komunikasi dalam
konteks interaksi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok. Dalam pandangan
sosiolog, komunikasi adalah proses megubah kelompok manusia menjadi kelompok
manusia yang berfungsi.
Menurut teori komunikasi, (fisher, 1978, hlm. 136-142), proses dakwah dapat
dilihat sebagai kegiatan psikologis yang mencakup hal-hal sebagai berikut:
Pertama, diterimanya stimuli (rangsang) oleh organ-organ penginderaan,
berupa orang, pesan, warna atau aroma.
Kedua, rangsang yang diterima mad’u berupa-rupa, warna, suara, aroma dan
pesan dakwah yang disampaikan da’i-da’i itu kemudian diolah di dalam benak
mad’u (hadirin), dihubung-hubungkan dengan pengalaman masa lalu masingmasing dan disimpulkan juga oleh masing-masing.
Meskipun pesan dakwah oleh
da’i itu dimaksudkan A, tapi kesimpulan mad’u boleh jadi B, C, atau D.
Ketiga, untuk merespon terhadap ceramah atau seruan ajakan da’i (misalnya
tepuk tangan, berteriak, mengantuk atau karena bosan kemudian meninggalkan
ruangan), pikiran hadirin bekerja, mengingat-ingat apa yang pernah terjadi di masa
lalu.
Dari memori itu para hadirin kemudian meramalkan bahwa jika hadirin
melakukan tindakan X, maka da’i akan melakukan tindakan Y, jika X maka Y.
Keempat, setelah itu barulah hadirin akan merespon terhadap ajakan da’i,
dan respon dari hadirin itu merupakan umpan balik bagi da’i.
Sebenarnyalah bahwa dalam proses dakwah, dalam arti interaksi sosial
antara da’i dan mad’u sekurang-kurangnya terkandung tiga makna:
- Bahwa, baik da’i maupun mad’u sebenarnya terlibat dalam proses belajar, baik dari segi berpikir maupun dari sudut merasa. Mad’u belajar kepada da’i, tapi da’i juga belajar kepada umpan balik yang disampaikan oleh mad’u.
- Antara da’i dan mad’u terjadi proses penyampaian dan penerimaan lambanglambang dalam berkomunikasi (tepuk tangan lambang suka, gaduh dan ngantuk lambang penolakan).
- Adanya mekanisme penyesuaian diri antara da’i dan mad’u. Bentuk penyesuaian diri itu bisa permainan peranan, identifikasi, atau agresi.
Jika
hadirin ramai-ramai meninggalkan tempat acara atau berbicara sendiri atau
mengantuk semua, padahal mubalighnya masih pidato di atas mimbar, maka
apa yang dilakukan hadirin menurut pandangan psikologi sebenarnya
merupakan penyesuaian diri dari ceramah yang tidak komunikatif.
Proses dakwah dikatakan berhasil dan efektif ketika tujuan dari dakwah itu
sendiri telah tercapai. Tercapainya tujuan dakwah ada beberapa tahap, antara lain:
- Tahap kognitif, adalah ketika seorang mad’u mampu menangkap, mengerti dan memahami apa yang disampaikan oleh seorang da’i.
- Tahap afeksi, adalah tahap berikutnya setelah tahap kognitif. Pada tahap ini, seorang mad’u diharapkan mampu merasakan dan merenungkan secara lebih mendalam apa yang telah disampaikan oleh da’i, tidak hanya sekedar memikirkan saja.
- Tahap psikomotor, adalah tahap dimana seorang mad’u telah mampu mengaplikasikan atau menjalankan apa yang sebelumnya telah disampaikan oleh seorang da’i, dan setelah mad’u melakukan perenungan secara mendalam.
Sehingga kesadaran benar-benar muncul dalam diri seorang mad’u tentang apa
sesungguhnya kewajibannya terhadap Tuhannya, apa seungguhnya tugas dan
kewajibannya di dunia ini agar pada saat menjalankan tugas dan amanahnya,
seorang mad’u benar-benar melakukan dengan berdasarkan kesadarannya
sendiri.
Posting Komentar untuk "Pendekatan Psikologi Dakwah"