Menginisiasi dan Membumikan Psikologi Lokal
Kebanyakan orang menyebut psikologi sebagai ilmu yang mengurusi individu
dengan gangguan kognitif, perilaku, gangguan kepribadian dari kalangan
anak, remaja atau orang dewasa yang memiliki masalah, yang arahnya
terstigmasisasi normal atau tidak normal dan wajar atau tidak wajar.
Masa-masa awal psikologi masuk ke Indonesia tidak luput dari peran
psikologi yang diperkenalkan tahun 1952 oleh Slamet Iman Santoso, Profesor
Psikiatri di Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Pada tahun 1960,
Departemen Psikologi tersebut berdiri sendiri menjadi Fakultas Psikologi dengan
Slamet sebagai dekan pertama.
Kemudian mulai berdiri Fakultas Psikologi di
Universitas Padjadjaran pada tahun 1961. Pada tahun 1964 berdiri Fakultas
Psikologi di Universitas Gajah Mada. Universitas negeri keempat yang memiliki
program pendidikan- psikologi adalah Universitas Airlangga di Surabaya.
Pada
awalnya, psikologi merupakan bagian dari Fakultas Ilmu-ilmu Sosial hingga pada
tahun 1992 berkembang menjadi Fakultas Psikologi. Para stafnya pada awalnya
sebagian besar adalah alumni Fakultas Psikologi, Universitas Gajah Mada.
Selanjutnya Fakultas Psikologi banyak didirikan Perguruan Tinggi Negeri dan
Perguruan Tinggi Swasta di Indonesia.
Tulisan ini, tidak akan mempertentangkan bagaimana ilmu perilaku
manusia yang berasal dari barat, daratan Eropa dan Amerika telah
„mencengkram‟ dan mengubah cara berfikir kita, penulis akan mencoba
„mengingatkan‟ dan mengkritisi bahwa kaum intelektual kita, yang berasal
dari negeri ini juga sudah sejak lama mempelajari dan menyebarkan yang
disebut kajian kalangan ilmiah dengan nama psikologi!
Awalnya, kita tengok, pemetaan dan karya tokoh psikologi yang
berasal dari dunia barat, Eropa atau Amerika. John Broardus Watson (1878-
1958) adalah pendiri behaviorisme di Amerika Serikat. Karyanya yang paling
penting adalah Psychology as the Behaviorist Views It (1913).
Karya ini dan
karya-karya berikutnya mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap
psikologi tradisional yang waktu itu sangat mementingkan kesadaran.
Watson
berpendapat bahwa psikologi haruslah menjadi ilmu yang obyektif, karena itu
ia tidak mengakui adanya kesadaran yang hanya dapat diteliti melalui metode
introspeksi. Metode introspeksi sendiri tidak obyektif dan karenanya tidak
ilmiah.
Psikologi- harus dipelajari seperti orang mempelajari ilmu pasti atau
ilmu alam. Karena itu psikologi harus dibatasi dengan ketat pada
penyelidikan-penyelidikan tentang tingkah laku yang nyata saja, misalnya
makan, menulis, berjalan, dan sebagainya.
Tingkah laku yang nyata ini
disebut tingkah laku yang overt (overt behavior). Di samping itu, ada pula
tingkah laku yang tidak nampak dari luar, tidak nyata, seperti berpikir dan
beremosi. Tingkah laku yang tidak nyata ini disebut tingkah laku kovert
(covert behavior).
Kemudian, Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936), Penemuan Pavlov yang
sangat menentukan dalam sejarah psikologi adalah hasil penyelidikannya
tentang refleks berkondisi (conditioned reflex).
Dengan penemuannya ini
Pavlov meletakkan dasar-dasar behaviorisme, sekaligus meletakkan dasardasar bagi penelitian-penelitian mengenai proses belajar dan pengembangan
teori-teori tentang belajar.
Bahkan American Psychological Association-
(APA) mengakui bahwa Pavlov adalah orang yang terbesar pengaruhnya
dalam psikologi modern di samping Freud.
Pada tahun 1904 Pavlov
mendapat Hadiah Nobel untuk penelitiannya tentang pencernaan
Ada lagi, Sigmund Freud (1856-1939) adalah orang yang pertama yang
secara sistematis menguraikan kualitas-kualitas kejiwaan beserta dinamikanya
untuk menerangkan kepribadian orang dan untuk diterapkan dalam teknik
psikoterapi dan aliran atau teorinya disebut sebagai psikoanalisa.
Psikoanalisa
dikenal juga sebagai psikologi dalam (depth psychology), karena ia tidak hanya
berusaha menerangkan segala sesuatu yang nampak dari luar saja, melainkan
khususnya berusaha menerangkan apa yang terjadi di dalam atau di bawah
kesadaran itu.
Teori psikoanalisa dari Freud dapat berfungsi sebagai tiga macam
teori, yaitu: sebagai teori kepribadian, sebagai teknik analisa kepribadian dan
sebagai metode terapi atau penyembuhan.
Sebagai teori kepribadian, psikoanalisa mengatakan bahwa jiwa terdiri
dari tiga sistem yaitu: id (es), superego (uber ich) dan ego (ich).
Id terletak
dalam ketidaksadaran. la merupakan tempat dari dorongan-dorongan primitif,
yaitu dorongan-dorongan yang belum dibentuk atau dipengaruhi oleh
kebudayaan, yaitu dorong-an untuk hidup dan mempertahankan kehidupan
(life instinct) dan dorongan untuk mati (death instinct).
Bentuk dari dorongan
hidup adalah dorongan seksual atau disebut juga libido dan bentuk dari
dorongan mati adalah dorongan agresi, yaitu dorongan yang menyebabkan
orang ingin menyerang orang lain, berkelahi atau ber-perang atau marah.
Prinsip yang dianut oleh id adalah prinsip kesenangan {pleasure principle),
yaitu bahwa tujuan dari id adalah memuaskan semua dorongan primitif ini.
Pengaruh psikoanalisa ini besar sekali terhadap perkembangan psikologi
sampai sekarang.
Dua aliran yang sangat berpengaruh, yaitu behaviorisme dan
psikoanalisis dianggap oleh beberapa pakar psikologi sebagai terlalu
memandang manusia dari satu segi saja.
Behaviorisme dianggap memandang manusia hanya sebagai makhluk refleks, sementara psikoanalisis
hanya memandang manusia sebagai makhluk yang dikendalikan oleh
ketidaksadarannya.
Karena itu muncul aliran psikologi holistik atau
humanistik dengan tokoh-tokohnya antara lain Abraham Maslow (1908-1970)
dan Carl Rogers (1902-1987).
Aliran ini dinamakan holistik karena hendak
memandang manusia sebagai keseluruhan dinamakan humanistik karena
ingin memandang manusia sebagai manusia itu sendiri, sebagai manusia
yang mengalami dan menghayati, bukan sekedar sebagai kumpulan refleks
atau kumpulan naluri ketidaksadaran.
Abraham Maslow, adalah teoretikus yang banyak memberi inspirasi
dalam teori kepribadian.Ia juga seorang psikolog yang berasal dari Amerika
dan menjadi seorang pelopor aliran psikologi humanistik. Ia terkenal dengan
teorinya tentang hirarki kebutuhan manusia.
Maslow menjadi pelopor aliran
humanistik psikologi yang terbentuk pada sekitar tahun 1950 hingga 1960-an.
Pada masa ini, ia dikenal sebagai “kekuatan ke tiga” di samping teori Freud
dan behaviorisme.
Aliran humanis percaya bahwa setiap orang memiliki
keinginan yang kuat untuk merealisasikan potensi potensi dalam dirinya,
untuk mencapai tingkatan aktualisasi diri.
Untuk membuktikan bahwa
manusia tidak hanya bereaksi terhadap situasi yang terjadi di sekelilingnya,
tapi untuk mencapai sesuatu yang lebih, Maslow mempelajari seseorang dengan keadaan mental yang sehat, dibanding mempelajari seseorang
dengan masalah kesehatan mental.
Hal ini menggambarkan bahwa manusia
baru dapat mengalami “puncak pengalamannya” saat manusia tersebut
selaras dengan dirinya maupun sekitarnya.
Dalam pandangan Maslow, manusia yang mengaktualisasikan dirinya,
dapat memiliki banyak puncak dari pengalaman dibandingkan manusia yang
kurang mengaktualisasi dirinya.
Adapun hirarki kebutuhan tersebut adalah
sebagai berikut : kebutuhan fisiologis atau dasar, kebutuhan akan rasa aman,
kebutuhan untuk dicintai dan disayangi, kebutuhan untuk dihargai, kebutuhan
untuk aktualisasi diri (Boeree, 2000).
Jika kita telah banyak mempelajari ilmu psikologi yang berasal dari
barat, apakah kita memiliki ilmu jiwa sendiri yang konteksnya bisa dipahami
oleh orang lokal ? (baca: Jawa atau Indonesia).
Indigenous psychology adalah kajian tentang perilaku manusia dan proses
mental dalam konteks kultural yang mengatur nilai, konsep, system keyakinan,
metodologi serta sumber-sumber yang pribumi sifatnya (Ho, 1998).
Beberapa
tokoh berpersepsi bahwa psikologi pribumi dengan etnopsikologi adalah berbeda.
Yang pertama, etnopsikologi, dikemukakan oleh para pribumi dengan cara
mereka masing-masing, sedang yang kedua, psikologi pribumi, dikemukakan oleh
para ahli psikologi modern lengkap dengan tradisi “disiplin”nya, dengan tujuan
mengungkapkan, menjelaskan, meramal dan mengontrol pengalaman dan
perilaku manusia; dengan pokok bahasan utama keadaan mental, proses mental,
serta struktur mental manusia; serta metodologi yang bias
dipertanggungjawabkan, serta tentu saja sistimatika pemaparannya.
Coba kita renungkan, masyarakat Jawa tidak akan gampang melupakan
sastrawan dan pujangga besar bernama Raden Ngabehi (R. Ng.) Ronggowarsito
(1802 - 1873). Tokoh yang hidup pada masa ke-emasan Keraton Surakarta
tersebut adalah pujangga besar yang telah meninggalkan warisan piwulang yang
sangat berharga berupa puluhan serat yang mempunyai nilai dan capaian estika
menakjubkan.
Ketekunannya pada sastra, budaya, teologi serta ditunjang bakat,
mendudukkan ia sebagai pujangga terakhir Keraton Surakarta.
Di masa kematangannya sebagai pujangga, Ronggowarsito dengan
gamblang dan wijang mampu menuangkan suara jaman dalam serat-serat
yang ditulisnya.
Ronggowarsito memulai karirnya sebagai sastrawan dengan
menulis Serat Jayengbaya. Sebagai seorang intelektual, Ronggowarsito menulis banyak hal tentang sisi kehidupan.
Pemikirannya tentang dunia
tasawuf tertuang diantaranya dalam Serat Wirid Hidayatjati, pengamatan
sosialnya termuat dalam Serat Kalatidha, dan kelebihan beliau dalam dunia
ramalan terdapat dalam Serat Jaka Lodhang, bahkan pada Serat Sabda Jati
terdapat sebuah ramalan tentang saat kematiannya sendiri.
Istilah zaman edan konon pertama kali diperkenalkan oleh
Ronggowarsita dalam Serat Kalatida, yang terdiri atas 12 bait tembang
Sinom. Amenangi jaman edan, Ewuh aya ing pambudi, Milu edan nora tahan,
Yen tan milu anglakoni, Boya kaduman melik, Kaliren wekasanipun, Ndilalah
karsa Allah, Begja-begjane kang lali, Luwih begja kang eling lawan waspada .
Terjemahannya sebagai berikut: Hidup didalam jaman edan, memang repot.
Akan mengikuti tidak sampai hati, tetapi kalau tidak mengikuti geraknya
jaman tidak mendapat apapun juga. Akhirnya dapat menderita kelaparan.
Namun sudah menjadi kehendak Tuhan. Bagaimanapun juga walaupun orang
yang lupa itu bahagia namun masih lebih bahagia lagi orang yang senantiasa
ingat dan waspada (Sukariyanto, 2003).
Kemudian, Sosrokartono (1877 - 1951) saudara kandung Raden Ajeng
Kartini yang secara tidak langsung memiliki peran sebagai mediator
komunikasi Kartini dengan sahabatnya di Belanda, dikenal sebagai sarjana
sastra pertama lulusan Belanda asal Indonesia, Jawa yang terkenal dengan
ujarannya: Soegih tanpo bondo, digdoyo tanpa adji, ngaloeroeg tanpo bolo,
menang tanpo ngasorake.
Kaya tanpa harta benda, kuat tanpa azimat,
menyerang tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan yang dikalahkan
dan memiliki pedoman dengan catur murti yaitu penyatuan dari pikiran,
perasaan, perkataan dan perbuatan (Aksan, 1995).
Menggenggam gelar Docterandus in de Oostersche Talen dari
Perguruan Tinggi Leiden, kemudian mengembara ke seluruh Eropa,
menjelajahi pelbagai pekerjaan.
Selama perang dunia ke I, bekerja sebagai
wartawan perang pada Koran New York Herald yang kemudian merger
dengan koran New York Tribun dan menjadi New York Herald Tribune, yang
terbit sampai kini.
Setelah menjadi wartawan, sebagai sarjana yang
menguasai 26 bahasa, bekerja sebagai penerjemah untuk kepentingan
Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa.
Profesor Dr J.H.C. Kern, dosen
pembimbingnya di Universitas Leiden, pernah mengundang Sosrokartono
untuk menjadi pembicara dalam Kongres Bahasa dan Sastra Belanda ke-25
di Gent, Belgia, pada September 1899 (Kartono, 2010).
Posting Komentar untuk "Menginisiasi dan Membumikan Psikologi Lokal"