Organisasi yang Bersifat Sosial Kemasyarakatan
a. Gerakan Tiga A
Untuk mendapatkan dukungan rakyat Indonesia, Jepang membentuk
sebuah perkumpulan yang dinamakan Gerakan Tiga A (3A). Perkumpulan ini
dibentuk pada tanggal 29 Maret 1942. Sesuai dengan namanya, perkumpulan
ini memiliki tiga semboyan, yaitu Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung
Asia, dan Nippon Pemimpin Asia.
Sebagai pimpinan Gerakan Tiga A, bagian
propaganda Jepang (Sedenbu) telah menunjuk bekas tokoh Parindra Jawa
Barat yakni Mr. Syamsuddin sebagai ketua dengan dibantu beberapa tokoh
lain seperti K. Sutan Pamuncak dan Moh. Saleh.
Jepang berusaha agar perkumpulan ini menjadi wadah propaganda yang
efektif. Oleh karena itu, di berbagai daerah dibentuk komite-komite. Sejak
bulan Mei 1942, perhimpunan itu mulai diperkenalkan kepada masyarakat
melalui media massa.
Di dalam Gerakan Tiga A juga dibentuk subseksi Islam
yang disebut “Persiapan Persatuan Umat Islam”. Subseksi Islam dipimpin oleh
Abikusno Cokrosuyoso.
Ternyata sekalipun dengan berbagai upaya, Gerakan Tiga A ini kurang
mendapat simpati dari rakyat.
Gerakan Tiga A hanya berumur beberapa
bulan saja. Jepang menilai perhimpunan itu tidak efektif. Bulan Desember
1942 Gerakan Tiga A dinyatakan gagal. Mengapa “Gerakan Tiga A” ini
dinyatakan gagal oleh Jepang, kira-kira apa alasannya?
b. Pusat Tenaga Rakyat
“Gerakan Tiga A” telah gagal. Kemudian Jepang berusaha
mengajak tokoh pergerakan nasional
untuk melakukan kerjasama. Jepang
kemudian mendirikan organisasi
pemuda, Pemuda Asia Raya di bawah
pimpinan Sukardjo Wiryopranoto.
Organisasi itu juga tidak mendapat
sambutan rakyat. Jepang kemudian
membubarkan organisasi itu. Dukungan rakyat terhadap Jepang memang tidak seperti awal kedatangannya.
Hal ini sangat mungkin juga karena sikap dan tindakan Jepang yang berubah.
Seperti telah disinggung di depan, Jepang mulai melarang pengibaran
bendera Merah Putih dan yang boleh dikibarkan hanya bendera Hinomaru
serta mengganti Lagu Indonesia Raya dengan lagu Kimigayo.
Jepang mulai
membiasakan mengganti kata-kata banzai (selamat datang) dengan bakero
(bodoh). Masyarakat mulai tidak simpati terhadap Jepang.“Saudara tua”
tidak seperti yang mereka janjikan.
Sementara perkembangan Perang Asia Timur Raya mulai tidak
menggembirakan.
Kekalahan Jepang di berbagai medan pertempuran telah
menimbulkan rasa tidak percaya dari rakyat. Oleh karena itu, Jepang harus
segera memulihkan keadaan. Jepang harus dapat bekerja sama dengan
tokoh-tokoh nasionalis terkemuka, antara lain Sukarno dan Moh. Hatta.
Karena Sukarno masih ditahan di Padang oleh pemerintah Hindia Belanda,
maka segera dibebaskan oleh Jepang. Tanggal 9 Juli 1942 Sukarno sudah
berada di Jakarta dan bergabung dengan Moh. Hatta.
Jepang berusaha untuk menggerakkan seluruh rakyat melalui tokoh-tokoh
nasionalis.
Jepang ingin membentuk organisasi massa yang dapat bekerja untuk
menggerakkan rakyat. Bulan Desember 1942 dibentuk panitia persiapan
untuk membentuk sebuah organisasi massa. Kemudian Sukarno, Hatta, K.H.
Mas Mansur, dan Ki Hajar Dewantara dipercaya untuk membentuk gerakan
baru.
Gerakan itu bernama Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dibentuk tanggal
16 April 1943. Mereka kemudian disebut sebagai empat serangkai. Sebagai
ketua panitia adalah Sukarno. Tujuan Putera adalah untuk membangun dan
menghidupkan kembali segala sesuatu yang telah dihancurkan oleh Belanda.
Menurut Jepang, Putera bertugas untuk memusatkan segala potensi masyarakat
Indonesia guna membantu Jepang dalam perang. Di samping tugas di bidang
propaganda, Putera juga bertugas memperbaiki bidang sosial ekonomi.
Menurut struktur organisasinya, Putera memiliki pimpinan pusat dan pimpinan
daerah. Pimpinan pusat dikenal sebagai Empat Serangkai. Kemudian pimpinan
daerah dibagi,
sesuai dengan tingkat daerah, yakni tingkat syu, ken, dan
gun.
Putera juga mempunyai beberapa penasihat yang berasal dari orang-orang
Jepang. Mereka adalah S. Miyoshi, G. Taniguci, Iciro Yamasaki, dan Akiyama.
Putera pada awal berdirinya, cepat mendapatkan sambutan dari organisasi
massa yang ada.
Misalnya dari Persatuan Guru Indonesia; Perkumpulan
Pegawai Pos Menengah; Pegawai Pos Telegraf Telepon, dan Radio; serta Pengurus Besar Istri Indonesia di bawah pimpinan Maria Ulfah Santoso.
Dari
kalangan pemuda terdapat sambutan dari organisasi Barisan Banteng dan
dari pelajar terdapat sambutan dari organisasi Badan Perantaraan Pelajar
Indonesia serta Ikatan Sport Indonesia juga bergabung ke dalam Putera.
Putera pun berkembang dan bertambah kuat.
Sekalipun di tingkat daerah
tidak berkembang baik, namun Putera telah berhasil mempersiapkan rakyat
secara mental bagi kemerdekaan Indonesia. Melalui rapat-rapat dan media
massa, pengaruh Putera semakin meluas.
Perkembangan Putera akhirnya
menimbulkan kekhawatiran di pihak Jepang. Oleh karena, Putera telah
dimanfaatkan oleh pemimpin-pemimpin nasionalis untuk mempersiapkan
ke arah kemerdekaan, tidak digunakan sebagai usaha menggerakkan massa
untuk membantu Jepang, maka pada tahun 1944 Putera dinyatakan bubar
oleh Jepang.
c. MIAI dan Masyumi
Berbeda dengan pemerintah Hindia Belanda yang cenderung anti terhadap
umat Islam, Jepang lebih ingin bersahabat dengan umat Islam di Indonesia.
Jepang sangat memerlukan kekuatan umat Islam untuk membantu melawan
Sekutu.
Oleh karena itu, sebuah organisasi Islam MIAI yang cukup berpengaruh
yang dibekukan oleh pemerintah kolonial Belanda, mulai dihidupkan kembali
oleh pemerintah pendudukan Jepang.Tepat pada tanggal 4 September 1942
MIAI diizinkan aktif kembali.
Dengan demikian diharapkan MIAI segera
dapat digerakkan sehingga umat Islam di Indonesia dapat dimobilisasi untuk
keperluan perang.
Dengan diaktifkannya kembali MIAI, maka MIAI menjadi organisasi
pergerakan yang cukup penting di zaman pendudukan Jepang.MIAI
menjadi tempat bersilaturakhim, menjadi wadah tempat berdialog, dan
bermusyawarah untuk membahas berbagai hal yang menyangkut kehidupan
umat, dan tentu saja bersinggungan dengan perjuangan.
MIAI senantiasa
menjadi organisasi pergerakan yang cukup diperhitungkan dalam perjuangan
membangun kesatuan dan kesejahteraan umat. Semboyan yang terkenal
adalah “berpegang teguhlah kamu sekalian pada tali Allah dan janganlah
berpecah belah”.
Dengan demikian pada masa pendudukan Jepang, MIAI
berkembang baik.Kantor pusatnya semula di Surabaya kemudian pindah ke
Jakarta. Adapun tugas dan tujuan MIAI waktu itu adalah:
- Menempatkan umat Islam pada kedudukan yang layak dalam masyarakat Indonesia.
- Mengharmoniskan Islam dengan tuntutan perkembangan zaman.
- Ikut membantu Jepang dalam Perang AsiaTimur Raya
Untuk merealisasikan tujuan dan melaksanakan tugas itu, MIAI membuat
program yang lebih menitikberatkan pada program-program yang bersifat
sosio-religius.Secara khusus program-program itu akan diwujudkan melalui
rencana:
- pembangunan masjid Agung di Jakarta,
- mendirikan universitas, dan
- membentuk baitulmal. Dari ketiga program ini yang mendapatkan lampu hijau dari Jepang hanya program yang ketiga.
MIAI terus mengembangkan diri di tengah-tengah ketidakcocokan
dengan kebijakan dasar Jepang. MIAI menjadi tempat pertukaranpikiran
dan pembangunan kesadaran umat agar tidak terjebak pada perangkap
kebijakan Jepang yang semata-mata untuk memenangkan perang Asia
Timur Raya.
Pada bulan Mei 1943, MIAI berhasil membentuk Majelis Pemuda
yang diketuai oleh Ir. Sofwan dan juga membentuk Majelis Keputrian yang
dipimpin oleh Siti Nurjanah. Bahkan dalam mengembangkan aktivitasnya,
MIAI juga menerbitkan majalah yang disebut “Suara MIAI”.
Keberhasilan program baitulmal, semakin memperluas jangkauan
perkembangan MIAI. Dana yang terkumpul dari program tersebut sematamata untuk mengembangkan organisasi dan perjuangan di jalan Allah,
bukan untuk membantu Jepang.
Arah perkembangan MIAI ini mulai dipahami oleh Jepang. MIAI tidak
memberi konstribusi terhadap Jepang. Hal tersebut tidak sesuai dengan
harapan Jepang sehingga pada November 1943 MIAI dibubarkan.
Sebagai
penggantinya, Jepang membentuk Masyumi (Majelis Syura Muslimin
Indonesia). Harapan dari pembentukan majelis ini adalah agar Jepang dapat
mengumpulkan dana dan dapat menggerakkan umat Islam untuk menopang
kegiatan perang Asia Timur Raya.
Ketua majelis ini adalah Hasyim Asy’ari dan wakil ketuanya dijabat oleh Mas
Mansur dan Wahid Hasyim. Orang yang diangkat menjadi penasihat dalam majelis ini adalah Ki Bagus Hadikusumo dan Abdul Wahab.
Masyumi sebagai
induk organisasi Islam, anggotanya sebagian besar dari para ulama. Dengan
kata lain, para ulama dilibatkan dalam kegiatan pergerakan politik.
Masyumi cepat berkembang, di setiap karesidenan ada cabang Masyumi.
Oleh
karena itu, Masyumi berhasil meningkatkan hasil bumi dan pengumpulan
dana.Dalam perkembangannya, tampil tokoh-tokoh muda di dalam
Masyumi antara lain Moh. Natsir, Harsono Cokroaminoto, dan Prawoto
Mangunsasmito.
Perkembangan ini telah membawa Masyumi semakin
maju dan warna politiknya semakin jelas. Masyumi berkembang menjadi
wadah untuk bertukar pikiran antara tokoh-tokoh Islam dan sekaligus menjadi
tempat penampungan keluh kesah rakyat.
Masyumi menjadi organisasi massa
yang pro rakyat, sehingga menentang keras adanya romusa. Masyumi menolak
perintah Jepang dalam pembentukannya sebagai penggerak romusa. Dengan
demikian Masyumi telah menjadi organisasi pejuang yang membela rakyat.
Sikap tegas dan berani di kalangan tokoh-tokoh Islam itu akhirnya dihargai
Jepang. Sebagai contoh, pada suatu pertemuan di Bandung, ketika pembesar
Jepang memasuki ruangan, kemudian diadakan acara seikerei (sikap
menghormati Tenno Heika dengan membungkukkan badan sampai 90
derajat ke arah Tokyo) ternyata ada tokoh yang tidak mau melakukan
seikerei, yakni Abdul Karim Amrullah (ayah Hamka).
Akibatnya, muncul
ketegangan dalam acara itu. Namun, setelah tokoh Islam itu menyatakan
bahwa seikerei bertentangan dengan Islam, sebab sikapnya seperti orang
Islam rukuk waktu sholat. Menurut orang Islam rukuk hanya semata-mata
kepada Tuhan dan menghadap ke kiblat. Dari alasan itu, akhirnya orang-orang
Islam diberi kebebasan untuk tidak melakukan seikerei.
d. Jawa Hokokai
Tahun 1944, situasi Perang Asia Timur Raya mulai berbalik, tentara Sekutu
dapat mengalahkan tentara Jepang di berbagai tempat. Hal ini menyebabkan
kedudukan Jepang di Indonesia semakin mengkhawatirkan.
Oleh karena itu,
Panglima Tentara ke-16, Jenderal Kumaikici Harada membentuk organisasi
baru yang diberinama Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa). Untuk
menghadapi situasi perang tersebut, epang membutuhkan persatuan dan
semangat segenap rakyat baik lahir maupun batin.
Rakyat diharapkan memberikan darma baktinya terhadap pemerintah demi kemenangan perang.
Kebaktian yang dimaksud memuat tiga hal:
- mengorbankan diri,
- mempertebal persaudaraan, dan
- melaksanakan suatu tindakan dengan bukti.
Susunan dan kepemimpinan organisasi Jawa Hokokai berbeda dengan Putera.
Jawa Hokokai benar-benar organisasi resmi pemerintah. Oleh karena itu,
pimpinan pusat Jawa Hokokai sampai pimpinan daerahnya langsung dipegang
oleh orang Jepang.
Pimpinan pusat dipegang oleh Gunseikan, sedangkan
penasihatnya adalah Ir. Sukarno dan Hasyim Asy’ari. Di tingkat daerah (syu/shu)
dipimpin oleh Syucokan/Shucokandan seterusnya sampai daerah ku oleh Kuco,
bahkan sampai gumi di bawah pimpinan Gumico.
Dengan demikian,Jawa
Hokokai memiliki alat organisasi sampai ke desa-desa, dukuh,bahkan sampai
tingkat rukun tetangga (Gumi atau Tonari Gumi). Tonari Gumi dibentuk untuk
mengorganisasikan seluruh penduduk dalam kelompok-kelompok yang terdiri
atas 10 - 20 keluarga.
Para kepala desa dan kepala dukuh atau ketua RT
bertanggung jawab atas kelompok masing-masing.
Adapun program-program kegiatan Jawa Hokokai antara lain sebagai berikut:
- Melaksanakan segala tindakan dengan nyata dan ikhlas demi pemerintah Jepang.
- Memimpin rakyat untuk mengembangkan tenaganya berdasarkan semangat persaudaraan.
- Memperkokoh pembelaan tanah air.
Jawa Hokokai adalah organisasi pusat yang anggota-anggotanya terdiri atas
bermacam-macam hokokai (himpunan kebaktian) sesuai dengan bidang
profesinya. Misalnya Kyoiku Hokokai (kebaktian para pendidik guru-guru) dan
Isi Hokokai (wadah kebaktian para dokter).
Jawa Hokokai juga mempunyai
anggota istimewa, seperti Fujinkai (organisasi wanita), dan Keimin Bunka
Shidosho (Pusat Kebudayaan).
Di dalam membantu memenangkan perang,
Jawa Hokokai telah berusaha antara lain dengan pengerahan tenaga dan
memobilisasi potensi sosial ekonomi, misalnya dengan penarikan hasil bumi,
sesuai dengan target yang di tentukan.
Organisasi Jawa Hokokai ini tidak berkembang di luar Jawa, sehingga
Golongan nasionalis di luar Jawa kurang mendapatkan wadah.
Penguasa di
luar Jawa seperti di Sumatra berpendapat bahwa di Sumatra terdapat banyak
suku, bahasa, dan adat istiadat, sehingga sulit dibentuk organisasi yang
besar dan memusat, kalau ada hanya lokal di tingkat daerah saja. Dengan
demikian, organisasi Jawa Hokokai ini juga dapat berkembang sesuai yang
diinginkan Jepang.
Posting Komentar untuk "Organisasi yang Bersifat Sosial Kemasyarakatan"